Friday, February 10, 2006

Kristen Kupu-Kupu

Oleh Martin L. Peranginangin

Istilah Kristen kupu-kupu pertama kali saya dengar ketika retreat Mamre beberapa waktu lalu. Entah siapa yang pertama kali yang mempopulerkannya, tapi yang jelas istilah ini timbul semacam kritikan bagi jemaat gereja dewasa ini yang suka bergereja secara nomaden alias berpindah-pindah. Hal ini memang menjadi suatu kecendrungan yang menarik untuk dicermati, sebab semakin banyak jemaat yang pergi ke gereja berdasarkan 'kebutuhan'. Orang yang menganut welfare religion pingin hidup sejahtera cendrung menikmati kotbah-kotbah tentang berkat Tuhan. Orang miskin katanya tidak diberkati?! Orang-orang sakit doyan pergi KKR penyembuhan. Orang yang terserang virus selebritas suka kotbah-kotbah dari orang yang terlanjur terkenal. Orang muda suka gereja yang nge-band, funky, boleh pake jins sobek. Orang yang suka mendengar kebenaran firman gado-gado tertarik dengan pengkotbah yang mengutip ayat-ayat dengan hafal.

Jemaat, terutama di kota-kota besar memang beruntung bisa mendapatkan banyak pilihan 'menu' yang diberikan banyak gereja, persekutuan doa, dan institusi-institusi lain. Ada gereja modern ada yang tradisional. Ada gereja sorak-sorai ada yang cool. Ada gereja dengan iringan musik band, mulai dari nge-pop sampai yang rada-rada hard rock, dan masih banyak lagi macamnya. Bahkan di Ancol pernah digelar konser musik rohani yang benar-benar trash metal. Katanya untuk memenuhi kebutuhan kaum metal. Mereka juga butuh siraman rohani! Edan.

Pemahaman bergereja bagi sementara kita mungkin masih sebatas ritual oriented. Ya, karena hari minggu pergi ke gereja. Sebab sejak kecil disuruh ke gereja kebetulan hari minggu. Malah kadang-kadang harus di beri uang jajan baru pergi ke gereja. Tidak jelas tujuan dan apa maksud ke gereja, karena itu setelah besar juga senang jajan rohani. Kondisi ini memang membawa kita ke dalam kondisi egosentris yakni mencari kesenangan diri sendiri dahulu baru kehendak Tuhan, dan bukan sebaliknya: kita dahulu mencari kehendak Tuhan (teosentris) baru kemudian memikirkan diri kita. Bila saja kita mampu mencari kehendak Tuhan dahulu maka sampailah kita pada tahap practical oriented. Jadi renungan firman pada hari minggu itu dapat menjadi dasar moral kehidupan kita. Seperti ditulis dalam Yakobus 2 ayat 17: iman tanpa perbuatan adalah mati.

Kalau saja pergi ke gereja sebagai jadwal rutin, jadilah isi kotbah menjadi kurang makna. Karena kita hanya berorientasi kepada 'Apakah saya sudah ke gereja minggu ini?' atau mungkin cendrung malah datang ke gereja sebagai tim juri, 'Apakah kotbah hari ini menarik?' Lalu, bila tidak menarik kita pun mencari-cari kesenangan menurut hati kita. Sehingga seolah-olah gereja mirip mall, bebas keluar masuk.

Bergereja bukan sekedar teori 'bertambah-tambahâ' tetapi juga praktek berbagi-bagiâ. Kita datang ke gereja bukan hanya menambah kuat iman kita dan semakin meningkat kesejahteraan kita karena diberkati, tetapi juga praktek membantu mereka yang masih lemah keyakinannya dan menolong orang yang masih serba kekurangan. Kalau kita hanya rajin saja ke gereja terlebih berpindah-pindah, kapan waktu kita untuk âberbagi-bagiâ? Kita perlu meluangkan waktu untuk persekutuan, berbakti bagi Tuhan dan jemaat yang iain. Ingat selalu tiga tugas gereja : kononia, marturia dan diakonia (bersekutu, bersaksi, dan melayani). Jangan seperti lirik lagu Karo, bagi kaba-kaba si mbulan: ingan kabang ipebelang-belang, ingan cinep bagi sikurang. (tempat untuk terbang begitu luas, namun tempat berteduh yang kurang)

Kecerdasan Financial

Kata 'ecerdasan' sangat populer berkaitan dengan buku karangan Prof. Daniel Goleman guru besar psikologi Harvard University dengan judul Emotinal Intellegence (kederdasan emosi). Ia mengatakan bahwa kecerdasan emosi lebih berpengaruh menjadikan seseorang sukses dalam pekerjaan atau organisasi dibandingkan standard lama yakni Intellegece Quotient (IQ) atau kecerdasan otak. Bukan berarti IQ menjadi kurang berarti, namun peran EI lebih berpengaruh! Seseorang yang pintar tetapi sulit mengelola emosinya pasti sulit dalam bekerjasama dengan orang lain, sehingga sulit mengembangkan karirnya dimana saja. Terlebih di era informasi dewasa ini, setiap orang semakin tinggi tingkat mobilitas dan komunikasinya. Seseorang bisa saja melakukan komunikasi dengan ratusan bahkan dengan ribuan orang setiap hari baik secara langsung, maupun dengan alat telekomunikasi seperti telepon, HP, fax, e-mail, atau dengan alat komunikasi lainnya.


Setelah Kecerdasan Emosi, muncul Kecerdasan Spiritual dan juga Kederdasan Financial dan seterusnya. Yang terakhir banyak dibahas oleh Robert T. Kiyosaky pakar investasi yang menulis buku antara lain: Rich Dad Poor Dad, Cashflow Quadrant, Rich Dad?s Guide to Investing. (Terjemahan Indonesia diterbitkan Gramedia). Menurutnya, apa arti ?miskin? tidak sama dengan biasa kita pahami, yaitu orang yang kekurangan, tidak memiliki apapun, atau hidup penuh penderitaan. Hal itu memang kemiskinan absolut. Bukan maksud tulisan ini untuk mempertentangkan antara kaya dan miskin, tetapi memberi pengertian supaya tidak menjadi miskin, apalagi miskin iman. Terlebih masyarakat Karo yang gemar melakukan pesta. Di Medan jambur paling banyak adalah milik orang Karo. Dari kebiasaan kita, sejak sebelum lahir hingga sesudah dihantar ke pemakaman berapa kali se-orang Karo kemungkinan melakukan acara pesta? Paling tidak, lebih dari sepuluh kali! Yang menjadi masalah adalah ?gelah mehaga utang pe labo dalih?. Sikap seperti ini yang perlu dikikis dari komunitas masyarakat Karo. Di masa datang, terutama di perkotaan sudah meninggalkan kebiasaan yang tidak cerdas dan tidak efisien baik dana dan waktu. Bagaimana dengan masyarakat kita menyikapi hal ini?


Menurut sudut pandang Kecerdasan Finansial yang membedakan orang menjadi miskin dan orang menjadi sejahtera (kaya) dilihat dari cara mereka menggunakan uang. Katanya, orang miskin biasanya menghabiskan uang untuk barang/hal yang mewah lebih dahulu (prioritas), sedangkan orang cerdas finansial membeli barang mewah kemudian, setelah fundamental keuangannya stabil. Di Indonesia, kartu kredit (utang) lebih laku ketimbang kartu debit. Lantas, bisa saja seorang yang memiliki mobil mewah atau perabotan yang mewah dikatakan ?miskin? dari sisi kecerdasan finansial, karena untuk memperoleh itu ia harus mengorbankan kebutuhan lain yang lebih mendasar misalnya pendidikan, kesehatan, spiritualitas/rohani. Apalagi dibeli dengan utang.


Mengapa mengejar kekayan? Bukankah orang miskin juga dicintai oleh Tuhan. Benar! Orang miskin dan kaya dicintai oleh Tuhan karena ketulusannyan seperti seorang janda miskin yang mempersembahkan sedikit uang atau Raja Salomo yang masyur. Bila orang miskin dicintai Tuhan tentu orang kaya juga dicintai Tuhan, sebab mereka bisa memberi makan orang miskin, menyekolahkan, atau memberi pekerjaan, mereka bisa berbuat lebih banyak lagi. Bill Gates pendiri Microsoft orang terkaya di dunia di usia 39 tahun, telah memberikan dana amal miliaran dollar (triliunan rupiah), ia memberikan donasi bagi yang kurang mampu, membangun yayasan dll. Mungkin sedikit berbeda dengan orang kaya di Indonesia, masih lebih suka mempertontonkan daripada memberi pertolongan. Namun saya percaya jemaat Tuhan juga bisa seperti Bill Gates.
Mengapa dalam agama perlu berbicara mengenai uang? Bukan berarti mengurangi pentingnya firman Tuhan, berdoa dan sebagainya. Sebab uang sebenarnya tidak bertentangan dengan spiritualitas. Memang uang dapat menjauhkan seseorang dari Tuhan, namun uang juga dapat bekerja sebaliknya, mendekatkan kita pada Tuhan. Uang bisa dimanfaatkan untuk membangun gereja, menyekolahkan pendeta, membagikan Alkitab gratis ke desa-desa, Pekabara Injil, mendirikan percetakan, membangun wisata rohani, dst. Dan pasti untuk hal tersebut uang tidak bertentangan dengan keagamaan, tetapi menjadi sarana untuk mencapai tujuan. Uang sama halnya dengan pisau, bila dipergunakan dengan benar seperti mengupas buah mangga akan menjadi hyginis daripada dikupas dengan mulut. Tetapi pisau juga bisa mencelakakan orang lain bila disalahgunakan.


Oleh karena itu pembangunan ekonomi jemaat juga cukup penting diperhatikan guna menopang kelangsungan jemaat Tuhan di kemudian hari. Sehingga peningkatan dalam bidang ekonomi dapat juga menopang perkembangan gereja dan meningkatkan kecerdasan spiritualitas anggota gereja.



* Mountain Sibayak