Friday, July 14, 2006

GBKP dan Kekristenan


Patrick Johnstone seorang missionaris dalam bukunya Doakanlah Asia, menyebutkan ada lebih 5.000 sekte Kristen di seluruh dunia. Kristen termasuk agama yang paling banyak pengikutnya di dunia dan hanya di Asia penganut Kristen merupakan minoritas. Korea Selatan, Piliphina dan Timor Timur yang memiliki populasi agama Kristen dalam jumlah persentase besar. Dalam perkembangannya agama-agama di dunia semua mengalami evolusi dan memiliki sekte-sekte baru. Bahkan di kalangan Katolik juga dewasa ini telah berkembang pesat Katolik Karismatik.

Sekalipun awalnya Kristen adalah satu, kemudian berkembang menjadi banyak aliran-aliran itu karena banyak faktor penyebab dan latar belakangnya. Gerakan reformasi oleh Martin Luther, Calvin, Zwingly di daratan Eropa telah melahirkan kelompok Protestan pada abad XVII. Protestan di Amerika kemudian berkembang oleh John Wesley yang terkenal sebagai pendiri gereja Methodist. Lalu Protestan masa kini lebih banyak lagi cabang-cabangnya, misalnya Lutheran (HKBP, GKLI dst), Calvinis (GBKP, GKI dst), Injili, Babtis, Bala Keselamatan, dll. Dogma-dogma kaum protestan pada umumnya adalah sama hanya saja bentuk liturgi-liturgi (tata ibadah) terjadi perbedaan. Hal ini dilatar-belakangi oleh metode penginjilan yang dibawa kedaerah masing-masing juga berbeda.

Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) sendiri berkembang dari ajaran Calvinis yang menganut presbiterial sinodal. (Artinya dalam menentukan arah gereja diputuskan oleh suara jemaat melalui sidang sinode. Sistem ini diadopsi langsung dari pemikiran John Calvin melalui bukunya Institutio yang ditulis semasa reformasi gereja di Eropa). Untuk melayani para pedagang dan pelayar Eropa pada abad XVII, gereja-gereja di Belanda mengirim pendeta ke Asia terutama di daerah-daerah koloni. Kemudian berkembang untuk menjangkau kaum turunan Belanda dan pribumi, serta akhirnya melahirkan gereja-gereja lokal. Suatu yang masuk akal pada masa itu, untuk menginjili masyarakat lokal mereka harus terlebih dahulu mempelajari bahasa dan budaya lokal. Seperti halnya dilakukan H.C. Kruyt yang datang ke dataran tinggi Karo tahun 1890. Hal yang sama dilakukan kolega-koleganya dari Netherlands Zendeling Geenoschap di Tanah Karo, seperti: M. Joustra, J.K. Wijngaarden, J.H. Neumann, E.J van den Berg, dan seterusnya. Mereka mempelajari budaya lokal, yaitu budaya Karo. Cara itu merupakan metode yang kontekstual pada saat itu supaya mereka dapat ber-PI. Sekalipun demikian lebih dua tahun kemudian baru ada 6 orang Karo yang menjadi Kristen.

Bagi orang Karo dahulu, kekristenan merupakan agama mbaru karena agama pemena sudah dianut berabad-abad sebelumnya. Agama pemena sering juga disebut perbegu, suatu kepercayaan kepada roh (spirit) mirip dengan agama Hindu dari India. Pada awalnya agama Kristen bagi orang Karo disebut Serani (Nasrani) yang dipandang sebagai penghilangan secara perlahan terhadap agama pemena. Disamping itu orang Karo jaman dahulu merasa agama Kristen adalah alat politik kolonial untuk dapat menjajah Tanah Karo. Sehingga sulit sekali agama Kristen berkembang di sana, apalagi cerita tentang dosa dan surga tidak masuk di akal mereka. Kristen Karo sendiri mulai berkembang pesat setelah peristiwa G30S/PKI tahun 1965, dimana pemerintah melarang paham komunis dan mengharuskan memilih salah satu agama yang diakui pemerintah.

Di tahun 1990-an sebuah tulisan menyebutkan ada sekitar 20.000 jemaat GBKP telah pindah gereja. Benar atau tidak, angka itu begitu signifikan karena hampir 10% dari jemaat GBKP saat itu. Belakangan ini lebih marak lagi dengan berkembangnya kristen Karismatik dari Amerika. Sebenarnya, apapun labelnya, agama Kristen bagi orang Karo adalah produk import dari luar. Baik dari Eropa maupun dari Amerika. Isinya adalah tentang Berita si Meriah (sekarang sudah dimodifikasi menjadi Berita si Mehuli) yang dibungkus dengan berbagai merek. Selain GBKP, ditengah-tengah warga Karo saat ini ada GIKI (Gereja Ijili Karo Indonesia) didirikan Rimendi Peranginangin memiliki belasan gereja, serta GKII (Gereja Kemenangan Iman Indonesia) didirikan oleh Benyamin Ginting terdapat beberapa buah gereja. Selebihnya banyak juga warga Karo yang bergereja di Bethel, dan gereja Karismatik lainnya atau Katholik. Itu adalah suatu kewajaran karena masing-masing menawarkan sesuai dengan kebutuhan jemaatnya.

Banyak jemaat GBKP yang pindah disenyalir karena gagal mendapat kedudukan, seperti : pertua, diaken, ataupun jabatan di lembaga runggun hingga sinodal. Atau mungkin karena merasa kurang diterima alias 'bermasalah' di tempatnya beribadah. Sehingga deretan ini sering dikategorikan barisan 'sakit hati', lalu pergi ke gereja lain. Namun ada juga yang menganggap GBKP 'tidak punya roh kudus', GBKP gereja suku, babtisan tidak sah, atau alasan dogma yang lainnya. Ungkapan-ungkapan miring seperti ini memang banyak dihembuskan dari kaum karismatik yang menuduh gereja suku kurang suci, karena mencampur adukkan agama dan budaya. Hal ini kadang menimbulkan gesekan karena munculnya orang Karo anti budaya, seperti: tidak mau lagi ergendang trdisional/kibot dan menari. Hal ini karena asal Karismatik itu sendiri di Amerika memiliki budaya yang sangat longgar. Bagi masyarakat Amerika mungkin puang kalimbubu tidak perlu, sementara bagi orang Karo itu sangat penting. Itu sebabnya kaum Karismatik biasanya kurang menerima budaya lokal, berbeda dengan misionaris dari Eropa yang justru mempelajari dahulu budaya lokal. Cara Eropa memang kelihatan lebih mengena bagi masyarakat Karo karena mengakomodasi kandungan lokal. Seperti Kristus sendiri datang ke dunia sebagai manusia dan lahir di kandang hina, supaya lapisan yang paling rendah sekalipun dapat menerimanya. Karena itulah Yesus datang bukan sebagai maha raja dari singgasana yang megah. Itu demokrasi ala Kristus yang saya lihat. Toh, kini GBKP telah memiliki lebih dari 700 gereja, apakah itu dibangun oleh roh kudus atau roh 'begu'?

Selain alasan di atas, ada juga jemaat yang pindah ke gereja lain karena kurang mendapat pelayanan yang memuaskan. Pendeta dianggap kurang cakap berkotbah tentang firman Tuhan. Mengapa? Ada pendapat mengatakan bahwa karena ada yang terpilih menjadi pendeta merupakan ping-pingna alias menjadi pendeta menjadi pilihan terakhir. Karena gagal masuk PTN akhirnya jadi pendeta. (Bukankah seharusnya kita memberikan yang terbaik untuk Tuhan?). Tapi memang sejak dulu, jabatan pendeta kurang menarik bagi jemaat GBKP. Mungkin semua merasa pendeta adalah pekerjaan mulia, namun bila ada yang diminta anaknya menjadi pendeta, ups... tunggu dulu.




Baik Pendeta, Pertua dan Diaken sudah saatnya mengetahui tentang service excellence. Hal ini menurut saya yang perlu diperhatikan. Bukankah lebih mulia bila GBKP yang masih jauh dari sempurna ini kita benahi bersama-sama. Gereja mirip sebuah restoran, untuk menarik pelanggan perlu menu yang enak dan ditata dengan baik supaya menarik selera konsumen. Bila tidak, rumah makan Karo Mergana pun akan ditinggal penggemarnya yang kebanyakan orang Karo, karena yang melayani suka membenahi posisi suntil-nya selagi melayani konsumen.




(Maranatha 2003)

No comments: