Friday, February 03, 2012

Ini Pesta Bung!

Oleh Martin L Peranginangin *)

Pemilihan umum, hingga saat ini masih dianggap proses yang terbaik untuk mengisi kepeminpinan suatu negara dan kelengkapan perangkat legeslatifnya, terutama di negara-negara demokrasi termasuk di Indonesia . Belum ada metode yang dianggap lebih ideal untuk bisa memberikan jalan keluar dalam kebuntuan perwakilan antara wakil dan rakyat semenjak domokrasi dikenal dalam ilmu ketata-negaraan.

Pola kepeminpinan mengerucut seperti piramida, peminpin berada di atas dan rakyat berada di garis bawah. Ini dalam pengertian bahwa jumlah peminpin lebih sedikit jumlahnya. Jelas, posisinya tak mungkin dibuat menjadi piramida terbalik, meskipun napas dari demokrasi itu mengandung makna kepemininan dari rakyat. Rakyat memberikan hak pilihnya di bilik suara guna menentukan siapa yang akan menduduki pos-pos yang telah disiapkan.

Kemudian, sering terjadi ironi karena konstituen merasa tidak merasa terwakili oleh orang-orang yang dipilihnya, sehingga angka golput cenderung naik. Walau seperti yang dilansir survey (Todays Dialog Metro TV) angka golput terjadi lebih banyak karena alasan administrative, karena tidak terdaftar misalnya, ketimbang alasan politis ataupun idiologis. Sikap apatis dari masyarakat memang disinyalir akibat ulah beberapa orang yang memperkeruh citra parlemen. Hanya saja persoalan itu tidak terhenti sampai di situ. Sebab para peminpin dan wakil rakyat itu dipilih langsung oleh rakyat, maka segala tindak tanduk mereka adalah representasi dari wajah masyarakat kita. Kita menuntut akan kualitas yang lebih baik juga seharusnya diimbangi dengan niat dan komitmen yang baik pula. Politikus buruk hanya mungkin terpilih karena ada masyarakat yang memilih mereka.

Disisi lain dilema yang dihadapi kandidat (caleg) juga yang tak kalah besar yakni high cost politics menghantui sistem politik di negeri kita. Bayangkan, untuk menjadi peserta caleg, bupati, gubernur, maupun pilpres, jutaan bahkan milyaran dana harus dipertaruhkan. Dan itu pun belum tentu bisa meraih kursi. Ini semacam gambling yang mengerikan. Dan kemudian dapat dibayangkan soal keluhan masyarakat akan harapan mereka terhadap wakilnya jauh panggang dari api. Setelah mereka duduk langsung menghilang dari peredaran. Seperti ungkapan pepatah Karo, bagi ngayak-ngayak batu megulang. Bicara ayaki pe erdauhna! Karena mereka telah letih dan berbeban berat dengan bermacam pengeluaran di awal kampanye, bagaimana pula mereka mampu memenuhi semua tuntutan konstituen terutama dalam bentuk sumbangan materi. Bukan saya mengamini hal ini, tapi kondisi tersebut realitas yang jamak terjadi.

Terlepas dari soal materi tadi. Sejatinya fungsi dari peminpin dan wakil rakyat adalah menentukan kebijakan yang mengikat semua warga. Oleh karena itu, cukup disayangkan bila untuk memilih orang yang akan mengatur dan membuat kebijakan dalam bernegara masih ada sementara kita yang acuh. Itu sangat penting karena bisa memberikan kebebasan atau malah belenggu bagi warga. Segala keputusan di tentukan di tingkat legeslatif dan yudikatif. Meski golput juga dikategorikan tindakan politik, namun hal yang cukup realistis menurut saya, yakni membangun hubungan strategis dengan para kandidat atau partai. Itu jauh lebih berharga daripada sekedar golput. Toh, mau tidak mau, suka tidak suka sekalipun banyak yang golput peminpin dan wakil rakyat pasti akan terpilih.

Pesta Demokrasi
Setiap kita pasti pernah menghadiri sebuah pesta. Disana hadir bergam orang dengan beragam kepentingan. Penyelenggara pesta, keluarga, kerabat dekat, sampai tukang parkir hingga penjaja cendol juga ada di sana . Singkatnya, bila ada pesta tentu ada keramaian, kemeriahan umbul-umbul dan bermacam pernak-pernik dan lainnya. Dan pasti, setelah pesta usai akan menyisakan sampah. Karena itu tidak perlu alergi dengan sampah sebab sekarang lagi musim pesta, pemilu. Sampah akan banyak di mana-mana, di media-media, ruang terbuka, hingga di dunia maya.

Layaknya seperti menghadiri sebuah pesta, diperlukan suatu persiapan. sebelum melenggang ke TPS ada beberapa tips yang mungkin bisa dipertimbangkan setiap pemilih yang akan memberikan hak suaranya. Pertama, pastikan kan didat (caleg) yang akan dipilih sebelum berangkat ke TPS jumlahnya 4 orang masing-masing satu calon DPD, DPR RI , DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sebab akan membutuhkan waktu lama bila akan menentukan pilihan di TPS. Oleh karena itu, ada masa kampanye yang dapat memberikan pertimbangan dalam penentuan pilihan. Kedua, bila memiliki banyak kesempatan bisa mengetahui lebih banyak tentang riwayat para caleg mungkin lewat situs pencari di internet. Misalkan Mr. X calon DPR RI dari Sumut I, masukkan namannya ke situs pencari seperti Google kemudian klik. Mengenali lebih jauh para kandidat secara rasional akan memberikan pilihan lebih baik daripada hanya mengetahui nama dan mengenal photo caleg tanpa mengetahui latar belakangnya. Ketiga, pastikan pilihan dicontreng dengan benar. Cukup sekali dikolom nama atau nomer caleg yang hendak dipilih. Keempat, bila memiliki waktu sebaiknya ikut mengawasi jalannya perhitungan terhadap suara yang diberikan. Bila terjadi kecurangan bisa melaporkan ke panwaslu atau petugas.

Pemilihan umum merupakan pesta demokrasi. Ini adalah sebuah pesta terbesar di republik ini yang melibatkan jutaan jiwa. Persiapan panjang sudah dilalui sejak akhir Oktober tahun lalu dan kini mendekati hari H. Politisi, pakar politik, mahasiswa hingga yang buta huruf banyak berwacana tentang pemilu. Secara garis besar ada tiga golongan yang terlibat langsung dengan pemilu, yakni pemerintah cq Komisi Pemilihan Umum sebagai pelaksana, para kandidat (caleg) dan pemilih. Lebih jauh lagi, banyak pihak yang memiliki kepentingan dengan terlaksananya pemilu. Investor berharap pemilu berjalan dengan lancar, tim sukses dan lembaga survey semakin jeli melihat peluang, wartawan bisa sampai lembur meliput berita, akademisi dan lembaga independen ikut mengamati, sampai tukang sablon berharap order semakin banyak. Bagaimana dengan anda, mau ikut ke pesta? Ini pesta Bung!

* Tulisan lawas jelang Pemilu 2009

Friday, December 09, 2011

Wisata Kuliner: Panggang Karo

Oretan Martin Van Der Wind
BPK Serasi Rasa Berastagi

Setiap kelompok masyarakat memiliki ciri khas tersendiri, seperti misalnya makanan khas daerah tertentu. Demikian juga halnya, dengan masyarakat Karo memiliki makanan-makanan yang khas dan unik serta memiliki cita rasa sendiri. Sebut saja cipera, pagit-pagit, tasak telu, panggang Karo alis BPK serta masih banyak yang lainnya. Namun dalam pengamatan sehari-hari panggang Karo telah memiliki pamor tersendiri di mata masyarakat non Karo. Rumah makan BPK cukup banyak ditemui di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, Bogo, Tangerang, Bekasi bahkan sudah ada yang merambah ke mall dan plaza.
Bila kita 'bertandang' ke Medan rasanya belum afdol bila belum singgah di rumah makan BPK di sepanjang jalan dari Padang Bulan hingga Berastagi. Mungkin ada seratusan rumah makan yang menyuguhkan hidangan nuansa Karo tersebut. Melihat geliat bisnis panggang tersebut akal sehat saya menggelitik, seberapa besarkah kontribusi rumah makan ini bagi masyarakat Karo, saya menduga-duga. Namun secara kasat mata tentu usaha ini layak ditekuni melihat pesatnya perkembangan usaha kuliner seperti rumah makan BPK ini. Bila dikelola dengan profesional tak tertutup kemungkinan usaha ini bisa di-franchise-kan. Bumbu cita rasanya dapat dijual kepada berbagai kalangan  bukan saja orang Karo, sehingga nantinya masakan Karo mudah ditemukan dimana-mana dan dikenal oleh masyarakat luas.
Antonius Tanan, salah seorang direksi Group Ciputra pernah mengangkat BPK nama keren panggang Karo sabagai salah satu contoh kasus dalam seminar kewirausahaan di kalangan PAKSU (Persekutuan Alumni Sumatera Utara, suatu perkumpulan alumni beberapa universitas di Sumut). Bahkan tidak sekedar di seminar, tapi hal ini juga dituliskan dalam bukunya tentang kewirausahaan.

Menurut catatan Ir. Perdana Ginting, tahun 1972 di kota Medan BPK baru ada satu buah benama Sar Kadobang Cit terletak di Simpang Kuala milik seorang tokoh adat Karo bernama Bengkel Tarigan. Jadi bila saja dirunut berdasarkan tahun itu bisnis ini telah berusia lebih 30 tahun. Namun tampilan kebanyakan BPK tetap saja ala kadarnya, terutama mengenai kebersihan yang masih kurang.

Ini merupakan suatu bisnis yang menggiurkan karena bukan saja dapat menyerap banyak tenaga kerja tapi juga memungkinkan terciptanya suatu lingkup bisnis dari hulu hingga hilir. Bayangkan berapa banyak tenaga akan diserap disektor peternakan, perdagangan, penyelia pakan ternak dan seterusnya. Sekali lagi, menurut Perdana Ginting, bila ada 20 rumah makan BPK membutuhkan 800 kilo daging. Dengan harga Rp 10.000 per porsi berarti perputaran uang bisnis ini sekitar Rp 160.000.000 sehari per 20 unit usaha. Tentu hal ini masih dapat dikembangkan menjadi lebih besar dengan manajemen yang profesional, sehingga seorang gubernur yang si la erpantangen merasa nyaman makan di sana. Atau dengan sistem catering, kiloan, pesan-antar atau mungkin dibuat dengan sistem waralaba. Tentu harus membangun merek dagang terlebih dahulu. Anda tertarik investasi di sektor ini? Ah, ngomong-ngomong cerita soal yang satu ini, perut saya jadi lapar. 

Monday, December 28, 2009

Harapan Untuk Sidang Sinode GBKP 2010


Makam Missionaris J.H. Neumann Di Sibolangit.

Menjelang Sidang Sinode April 2010 mendatang, sebagai jemaat tentu menaruh banyak harapan bisa memberi perubahan yang signifikan untuk perubahan GBKP ke depan yang lebih baik, setidaknya lima tahun yang akan datang. Terlebih begitu besar dana dan waktu yang dibutuhkan guna melaksanakan proses pengambilan kebijakan tertinggi di gereja kita. Ribuan peserta akan meluangkan waktunya dan miliaran dana akan dibelanjakankan (Maranatha edisi November). Apakah hal ini akan memberi dampak yang setimpal dengan daya dan upaya itu?

Kondisi masyarakat terus berubah dan cendrung semakin kritis dengan berbagai hal dalam kehidupan ini. Keterbukaan atau transfaransi, keberdayagunaan atau efesiensi serta produktivitas sering menjadi tolok ukur dalam menyikapi bermacam permasalah kehidupan kita. Meskipun dalam konteks ini kita berbicara dalam soal relegiusitas, soal yang imajiner yakni kerohanian. Tetapi dalam beberapa hal tolok ukur seperti: transfarasi, efesiensi, dan produktivitas saya kira perlu dipertimbangkan dalam membawa gereja ke arah yang lebih baik. Apa saja hal yang lebih baik?

1. Jumlah jemaat meningkat bukan dari angka kelahiran saja, tapi hasil dari pelayanan.
2. Tingkat kehadiran kebaktian/PJJ/PA Kategorial naik diatas 60%
3. Jumlah dan tingkat pendidikan pendeta memadai.
4. Transfaransi keuangan runggun, klasis, moderamen bisa dipertanggung-jawabkan.
5. Program pelayanan yang real, bisa dilaksanakan dan bermanfaat untuk jemaat setempat, spesifik menurut kondisi runggun setempat, dst.

Saya baru saja membaca buku The Jack Welch Secrets karya Stuart Crainer mungkin bisa memberikan bahan pemikiran bagi kita. Jack Welch adalah peminpin korporasi raksasa yang melegenda karena mampu membawa perubahan yang fantastis. Ia seorang CEO dari General Electric dengan jumlah karyawan lebih dari 300.000 orang berada di berbagai negara, itu pun setelah dilakukan rasionalisasi terhadap 180.000 orang lainnya. Langkah-langkah yang diambil seringkali menjadi topik di berbagai media dan hasilnya tahun 1997 ia mencetak keuntungan US$ 12, 735 juta atau setara dengan Rp 127 trilyun. Bandingkan dengan APBN Indonesia tahun 1997 hanya Rp 95,8 trilyun.

Mungkin sementara kita kurang setuju dengan mengambil sistem korporasi diaplikasikan di organisasi sosial seperti gereja. Baik itu benar, namun saya berpendapat, hal-hal yang baik di dunia usaha bila perlu bisa diaplikasikan dalam hal upaya atau usaha pencapaian tujuan. Tentu organisasi sosial juga memiliki tujuan seperti perusahaan yang mencari laba. Upaya seperti transparansi, efesiensi dan produktifitas saya kira masih sejalan dengan firman Tuhan.

Dari buku tentang Welch dituangkan beberapa pemikirannya yang mungkin bisa bermanfaat bagi kita.

Berinvetasi pada manusia. Ia melihat hal terpenting dalam organisasi itu adalah manusia. Manusia menjadi sangat berguna setelah dilatih dan memberikan kinerja yang baik pula. Begitu pentingnya ia melihat setiap insan yang ada dalam organisasinya, sehingga ia banyak memberikan waktu untuk bertatap muka langsung hingga ke jajaran yang rendah sekali pun. Interaksi yang intens memberi banyak informasi yang ia butuhkan. Namun ia juga tak ragu melakukan rasionalisasi, tentu terhadap karyawan yang produktivitasnya rendah. Hal terakhir mungkin terasa sulit diterapkan di gereja, karena dasarnya kasih.

Pikirkan Pelayanan. Dalam tingkat persaingan yang sangat tinggi maka pelayan adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi. Ketika persaingan dan transparansi semakin meningkat hanya dengan pelayanan yang baik yang mampu bertahan. Akankah orang ke GBKP hanya karena ia orang Karo sementara di tempat lain pelayanan baik secara rohani dan materil sangat baik.

Lupakan masa lalu, cintai masa depan. Ungkapan ini mungkin masih perlu kita belajar lebih banyak, terlebih bagi kita yang suka melihat masa lalu. Banyak pameo orang Karo yang menunjukkan kita suka terhadap masa lalu. Ise kin si Anu ah, ninina pe kutandai nge…umpamanya. Sementara ada ungkapan orang Inggris mengatakan, My interest is in the future, cause I will spend the rest of my life there. (Minat saya adalah masa depan, karena saya akan menghabiskan sisa hidupku di sana ). Welch menggemari hal-hal yang berbau teknologi.

Fokus. Satu hal yang berbeda dari kebanyakan orang adalah Welch fokus terhadap pekerjaannya. Pekerjaan yang fokus tentunya menghasilkan sesuatu yang maximal tentunya. Seorang pelayan tentu tak bisa sambil-sambilan dalam melayani. Bisa diterima bahwa semua pendeta yang berhasil dalam pelayanan dan menjadi berkat banyak orang karena ia hanya fokus terhadap pelayanannya.

Hilangkan Birokrasi. Dalam arus informasi yang sangat cepat dewasa ini kecendrungan banyak organisasi memangkas birokrasi. Ini mungkin karena pertimbangan penghematan biaya maupun waktu. Mungkin dalam hal ini, patut dipertimbangkan untuk menyetop pertambahan klasis kalaupun tidak bisa menguranginya. Berapa alokasi biaya yang dikeluarkan di setiap klasis dan seberapa besar urgensinya terhadap pelayanan itu sendiri serta hasilnya seperti apa? Hal ini perlu terus dievaluasi, supaya jangan terjadi ti tingkat klasis hanya tempat ‘parkir pendeta-pendeta’. Di sisi lain masih hampir separuh gereja GBKP belum ada PKPW. Di Medan ada beberapa klasis, di Kabanjahe ada beberapa klasis, di Jakarta ada dua klasis. Mungkin usul saya dibuat menjadi regional saja.

Namun demikian, Moderamen tetap menjadi penting sebagai pusat pengambil kebijakan untuk urusan eksternal dan internal organisasi, dan di runggun merupakan sentral pelayanan maka di tingkat runggunlah yang perlu lebih banyak dilakukan program kerja. Demikian buah sumbangan pemikiran saya, semoga memiliki arti bagi pembaca sekalian.

Wednesday, January 28, 2009

Bulang Pelcik: I'm in Love



Oleh Martin Van Der Wind

Senja berangsur malam, kede kopi Siang Malam milik Pa Mburas masih saja ramai orang bercengkrama. Seakan tak pernah habis-habisnya topik permasalahan yang mereka bahas. Wacana selalu segar, mulai dari pilkades yang ricuh sehingga pendukung salah satu calon berdemo ke DPRD, sampai soal semarak Obamania merambah ke seluruh pelosok dunia. Rata-rata tingkat pendidikan tak menghalangi obrolan yang mereka bahas yang penuh dinamika. Dalam sehari bisa berganti presiden sampai 6 kali!

Meski namanya kede kopi Siang Malam namun kerap dibuka pagi hingga sore, tapi belakangan terpaksa menambah jam operasi untuk memenuhi selera pengunjungnya. Maklum saja, suasana menjelang pemilu menambah suasana makin hot dengan perdebatan-perdebatan menjurus perubaten dalam mempertahankan argumen.

Kemarin sore, topik hangat soal anak Pa Siding yang ikut dalam kancah pencalonan anggota legeslatif. Pergunjingan yang tak terbantahkan menjurus sisnisme yang akhirnya berujung karena seorang komentator aktif harus pulang karena dijemput istrinya. Soal anak Pa Siding mencuat ke permukaan gara-gara niat Pa Siding menjual kayu karetnya kepada cukong.

“Padah kin jadi caleg, adi njolor kin kerina si nasa lit. Tang-tangna kayuna dayaken, je kari tanehna sewaken, ape la bias dayaken kerina. Enca kari ma terpilih piah mahado”, tukas Pa Mburas yang jeli melayani para pelanggannya, melempar topik pembicaraan.

“Enam…engo kin sik-sikindu belas-belasndu ena Kila, maka bagena ka nindu?”, tanya Mbergeh tak sepaham dengan pernyataan itu. “Lang si kutehna dah kam, perban erga getah genjeng bagenda perbahan krisis enda maka turah ukur Pa Siding erdaya kayu”, lanjutnya menegaskan.

“Eak, gelah enggo tehndu Permen. Enam ningen ranan pulitik. Lain belasken, lain ka nge sura-surana. Adi la kam megermet, lampas nge kam terdaya. (Terpedaya maksudna). Jelas Pa Mburas.

“Ue, lit kin kubegi berita nuan sawit ate Pa Siding, nina turi-turinna gancih kayu rambong”, timpal Pasal alias Pa Saling.

“Enggo kai ka lepakna, adi nuate kalak nuan-nuan?” Tanya Bulang Pelcik kritis sembari mencari tempat duduk. Ia baru saja tiba kemudian menimpali perbincangan. “La kap oratna man cakapken soal kalak erjuma. Si perlu onggari, uga nge sima-sima pupus Pa Siding ah ndai? Uga kin popona kidekah enda?Banci kin ia pagi man kite-kite ku datas entah lang? Enaaang…! Gua kin koena?!” Sambungnya sembari menantap sekeliling kede dengan sorot mata tajam.

“U…ueee, payo katandu ena Laki. Egia kai ban inemenndu? Susu? Teha manis? Ntah kopi? Pa Mburas menyela.

“Teh manis saja, sitik ban gulana! Pintanya. “Lang gia ma bujur nge kalak ersura-sura denga? Enggo ija rongketna? Tanya Bulang Pelcik.

“Bagenda dahkam Laki, mejile nge adi lit jelma ersura-sura, piah maun lit pe enggo teran ban rincuhna.. Denggo kenca seh sura-surana, manai terdeheri apai ka kita ingetna, sitik pe lang...Dungna bagi ngayak-ngayak batu megulang, tehndu? Aayaki pe erdauhna.” Pa Saling bergumen.

“Adi teran nim ndai, kerina nge jelma lit morah-morahna. Mate ngenca jelma la nggo teran. Ueee… gua kin koenaaa?!” tukasnya sembil menuang teh ke piring kecil. “Eak, soal lanai inget kalak nari erkiteken enggo ka sikap sekerajangenna, ena nge persoalen. Em ninta kalak Karo rusur, sik-sik lebe maka itindes. Mbages antusenna e! imbuh Bulang Pelcik sambil mengankat kaki kanan ke kursi.

“Tapi… enterem kap man pilihen, menam sada pe la sitandai seakatan anak Pa Siding ah ndai. Lang sideban e maka enggo tehndu, pengalana pe labo pernah ku jenda, apaika kita sibalengen juma rassa. Uga ninta ngembarisa maka banci pagi sipilih si biak ia ngkunduli rananna? Lang adi aku dahkam pangen golput saja. Uga nge Laki?” Mbergeh tiba-tiba bertanya yang sedari tadi membisu.

“Enam…enam... Zaman sudah maju orang bilang. Ya, tinggal talipon atau semes-semes (SMS) saja kan bisa! Tanya pada orangnya atau parte-nya. Atau bisa dicari lewat internet”, kata Bulang Pelcik layaknya komentator politik. “Nai kami la lit main-mainen kami bagena rupana ya, emaka ku kede enda aku ndarami antusenna. Ueee…Gua kin koena?!”, katanya lagi.

“Nyak..., uga ninta ngantusisa Laki?” Mbergeh kembali bertanya dengan serius.

“Enam me TONI nina kin kita Jawa enda, waton muni nina kin. Asal sora! Kam dehkam nguda denga Kempu. Harus kam lebih gesit, cepat, cerdas ngantusisa. Lalap kam nungkuni, epe man penungkunen nge man bangku”. Timpal Bulang tak kalah sengit. Membuat Mbergeh tak bergeming. Ibarat pepatah, suan galuh i tengah sabah, ngarap tama ngaruh kepe tama salah, pikirnya.

“Egia ma ikut nge pagi pemilihen enda Laki?” Tanya Pa Saling memecah keheningan.

“Jelas, aku cinta negeri ini!” suara Bulang meninggi dan dadanya membusung. Ngasa seh sipatku, tetap nge kubereken man bangsa enda asa ngasup ras ukurku lit. Adi kerina kin kita si tungkat-tungkat galuhna. Nandangi mberat nge pala bubar nge negaranta enda. Adi ateta jore, ras-ras kang kita maka banci sikap.” Sambungnya.

“Io-oh, ergagahna kam kuidah bagena pengeranandu ena Laki. Tempa bagi proklamator man tatapen,” Pa Mburas memuji.

“Dareh ras kesah marenda tukurna maka banci kita merdeka enda. Gundari enggo kita merdeka lanai ateta tutus mpekena-kenasa. Uga nge, mulihken ka kin ateta ijajah kalak gundari? Adi kita enggo merdeka, cintailah dan isilah kemerdekaan itu!” tandas Bulang Pelcik.

Tiba-tiba.

“O, Paaak! Taruhken bantalndu ku kede ena. Jena saja Kam medem?” Suara kemberahen Pa Saling melengking sampai empat oktaf menghentikan diskusi yang tengah hangat itu.

Bulang Pelcik tercenung. Di lirik jam dinding sembari bergegas bersiap pulang.
Mbelang juma mbue pagena, enterem jelama melala erbagena! Pikirnya dalam hati. [Omega].

Friday, May 16, 2008

Elegi Bulang Pelcik

In action, Bromo 2010
Tak seperti biasanya, aura wajah Bulang Pelcik sore itu kelihatan murung. Duduk bersandar dibalut sehelai sarung yang melingkar di pundaknya. Kaos oblong tipis warnanya sudah berubah kekuning-kuningan dengan celana pendek kesukaannya kelihatan masih yang dipakai tiga hari yang lalu.

"Adi seluar gendek dahko, mbue untungna. La mergasa, gampang makesa, la ngisah ras bagepe la mesera nyucisa", ia suka berdalih. Meski dicuci kerap kali seminggu cuma sekali.


Pelupuk matanya menerawang tertuju ke arah jemuran tali plastik antara tiang sapo dan pohon mangga yang dahulu ditanam oleh Nini Lompoh, almarhum istrinya. Semenjak istrinya meninggal ia hidup seorang diri. Walau anak-anaknya memohon supaya ia tetap tinggal dengan mereka selalu saja ada alasannya yang sulit dibantah. Ia memiliki pendirian teguh dengan folosofi hidupnya, selama masih mampu, ia tak ingin menjadi beban bagi orang lain. Meski pun anak-anaknya tergolong bukan orang susah, ia lebih senang tinggal di sapo miliknya type RSSSSS itu.


"Lenga bo perlu aku man ripenken", ia selalu berargumen. Bahkan BLT yang pernah disalurkan perangkat desa ditolaknya dengan perasaan tersinggung.


"Atek kena kin geluhku enda lanai ersima-sima? Baba saja mulih luah kena ena! Geluh si bagenda pe enggo kuakap aku bayak!" jawabnya ketika itu.


Tak jelas apa yang lagi melintas di pikirannya. Memang tipikalnya seperti itu., sulit menebak isi hatinya. Atek ei, ah. Atek ah, ei. Mungkin psikolog lulusan universitas ternama juga bisa menyerah mengikuti jalan pikirannya. Barangkali ia jauh lebih cerdas dari mereka seorang kaliber doktor sekalipun. Hanya saja dia cuma sempat duduk di bangku sekolah sampai dua tahun.


Tanpa disadari, dua anak perana - panglatu sudah sedari tadi mengamati gerak-geriknya dari jauh. Mereka yang biasa menemani hari-hari Bulang Pelcik yang suka berderma makan siang masakan Bulang sendiri. Hidup bag parasit. Kujah-kuje ngenca pengkebetna. Gia daging mbestang tapi hidup cuma mengharapkan hibah dari BUMN alias Badan Usaha Milik Nandena bin ngecek. Bertolak belakang dengan prinsip Bulang Pelcik, hidup mandiri. Makanya diskusi diantara mereka selalu dinamis, dan tak berujung pangkal. Hanya mata yang mengantuk mampu menghentikan pembicaraan mereka. Argumen dibantah dengan argumen bahkan bila perlu sampai pukulan mendarat di dipan.


"Kai bengkaundu Laki?!!", sentak seorang bernama Pas Kal.


"Aai.. aaaih! Atah tabu e begu basss..!" Jeda sejenak. "Engko nge Pais? Sengget kal aku banko", teriak Bulang Pelcik pada Pais nama populer Pas Kal yang dikenal lasak sekampung.


"Ue Laki. Silap kal aku, kuakap kam la persenget".


"Silap, silap nim. Silap Pa Ciger silapmu enah. Silap, silap nina, tutungna rumah sada kuta. Ma nggo rarat engko e", jawab Bulang Pelcik ketus, sembari membenarkan duduknya.


"Mamang ate kami, ndekah kal kam idah kami lolah sisada. Kai kin tangkelendu e sangana? Ntahsa banci kari sampati kami", tanya Dogol layaknya seorang filantrofis yang hendak memberi bantuan.


"Eak, sekerajangenmulah pekena lebe. Nampati, nampati nim kalak sangana rukur picet pe iguro-gurokenmu kang kidah. Bicara tangkeli kena pe kari labo mbera dung", sambung Bulang Pelcik yang mulai siuman dari lamunannya.


"Lalah ingetndu ka romantika ras Nini Lompoh nai. Ei…eiii, labo nari man ingeten e Laki. Madin daramika gancihna. Bicara kuga gia, Nini ndai lanai bo nari mulih. Si darami lah sambarna maka banci lit si pekena-kena kam gelah ersikapna pergonjendu", timpal Pais seolah menghayati jalan pikiran Bulang Pelcik.


"Pas…! Tuhu bagi kata anak ah Laki. Adi empo ka kam mulihi, ei ugapape perpan ras petunduhndu banci reh tabehna", bisik Dogol mendekat ke arah daun telinga Bulang Pelcik.


"Hmmm…engko dahko, si entabehna enca rusur tangkelenmu duana. De kune si pagitna pagi reh, kuga?" tanya Bulang Pelcik sengit sembari menggulung daun nipah dengan daun tembakau kering.


"Bagenda Laki, anakndu enggo kerina njayo, enggo sikap bagelah. Kai nari kin si man ukurendu? Bicara rehab pe sapo enda jadi gedong dua tingkat lengkap ras prabotna banci nge usahakendu. Ence tambahi ka sada nari, si njagai ras si beluh nami-nami kam. Dehkam nggo klop!", kata Dogol merayu seperti ular di taman firdaus.


"Hmmm….", lama Bulang Pelcik terdiam. Hanya hisapan daun nipah yang ditarik dalam-dalam dan kepulan asap keluar dari hidung dan mulutnya. Kali ini ia malah balik bertanya pada kedua anak muda itu. Answer the question with a question, seperti lagu Scorpion itu.


"Engko gia, kai nari timanmu maka lalap la empo duana?" dia bertanya balik.


"Eaaak, adi aku lenga stabil perekonomian Laki. Gaji pe pitu koma ngenca…"


"Eh… ndigan ka engko nggo ngalo gaji anak?!" potong Pais terheran-heran bercampur jealous mendengar penjelasan karibnya itu.


"Begiken min lebe maka sungkun! Lenga dung pe minter ko interupsi. Maksudku gaji pitu koma, seh tanggal pitu enggo koma. Manai bias anak! Ena nge ndai si kumaksud. Nggo angkam!" tandas Dogol pada temannya Pais. "Nyak, adi engko engkai maka lalap lenga ersura erjabu sue penungkunen Laki ah ndai?" sambungya lagi.


"Ue, enggo me seri sikerajangenta e, bicara turiken pe labo ndoh-ndoh sa bagi ilustrasimu ena ndai Nak. Ihh, sada partai kita kap adi bage. Partai IJO LUMUT ! (Ikatan Jomblo Lupa Usia Tua)," timpal Pais tak mau kalah intelek dari temannya.


"Enam, enam… adi engko pe duana mbiar denga nge empo, uga maka usur-usurmu kalak erjabu? Lalah kari babaimu kita ku embang ah adi bage. Solang katangku e gel-gel, rananmu e labo nambah penahang ukur kalak, tapi nambahi beratna enggo lit. Perobahi lah lagumu e duana! Nina tua-tua si nuria, sepuluh pande kudin, talu iban sekalak pande kah-kah. Si arah pai kin atem baginmu?" ujar Bulang Pelcik yang tambah pusing. Adi labo beluh nampati, nampeti gia ola, bisik hati Bulang Pelcik. Omega!

Gbr: Edi Tarigan, Natal GBKP

Sunday, April 27, 2008

Politik, Agama dan Orang Karo

Undang-undang Partai Politik, UU Pemilu dan UU Pilpres sudah dibuat, enam belas parpol yang memiliki kursi di DPR melaju secara otomatis pada pemilu 2009 mendatang, dan ditambah lagi partai-partai baru yang lolos diverifikasi oleh KPU. Sudah dapat diprediksi, bahwa dinamika perpolitikan di Indonesia sudah mulai menghangat, terlebih jadwal kampanye rencananya akan dipercepat.

Bagi sementara kita, memang melihat politik itu layaknya seperti sesuatu yang menakutkan dan berbahaya, syarat dengan prilaku jahat guna kepentingan pribadi dan kelompok. Sehingga tidak heran ada adigium dalam politik yang berkata, ‘tak ada teman yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi’. Ini semacam sentimen bahwa politik itu kejam dan kotor. Seolah-olah kekuasaan adalah tuhannnya. Demi mencapai tujuan ada orang yang rela berbuat bermacam cara.. Namun demikian, terbetik sebuah pertanyaan lagi di otak saya, bila politik itu memang kotor apakah saya rela dipimpin terus oleh orang-orang ‘kotor’? Yang menggerogoti hak-hak orang banyak yang seharusnya bukan miliknya. Untuk membersihkan politik itu dari gelimang noda, tentu dibutuhkan lebih banyak lagi orang bersih masuk ke dalamnya, sehingga semakin lama politik semakin beradap. Ibarat gelas berisi air kotor, untuk membersihkan isinya tuanglah air bersih sebanyak-banyaknya, lama-lama airnya menjadi jernih. Misi seperti ini telah sukses diusung beberapa partai seperti PKS. Pasca reformasi partai yang menyebut dirinya bersih ini menarik minat banyak simpatisan. Saya kira, diam atau golput bukan lagi jawaban di jaman sekarang. Kita perlu ambil bagian dalam setiap lini guna berpartisipasi menentukan segala arah kebijakan di negara kita ini.

Peran Politik Orang Karo
Orang Karo termasuk salah satu suku yang melek politik. Pernyataan ini tentu didukung oleh fakta, Sebelum kolonial menginjakkan kaki di dataran tinggi Karo, orang Karo sudah menciptakan sistem kepeminpinan sendiri berdasarkan adat-istiadat Karo dalam mengatur komunitasnya. Sibayak adalah peminpin tertingi yang membawahi beberapa urung. Urung membawahi babarapa kuta. Dahulu ada lima sibayak (kerajaan) yaitu : Sibayak Lingga, Sarinembah, Suka, Barus Jahe dan Kutabuluh. Untuk menjadi peminpin harus ada proses yang dilalui. Seseorang yang belum pernah menjadi bapa aron dalam acara muda-mudi, tak akan pernah diangkat menjai peminpin kuta. Begitu perlunya proses mematangkan seseorang untuk menjadi seorang peminpin, sehingga kelak menjadi tetua di desa bisa masin cakapna. Tahapan ini mungkin yang suka diabaikan oleh politikus jadi-jadian. Sejarah mencatat lagi, pada masa jaman Repoeblik Indonesia Serikat, seorang politisi Karo, bernama Nerus Ginting Suka pernah mencalonkan diri menjadi wakil presiden tahun 1950. Kemudian pada masa Orde Baru, muncul Djamin Gintings dengan Gekari, menjadi ketua DPP Golkar beberapa periode. Dan berikutnya Beren Gintings, Raja Kami Sembiring, dll. Salah satu titik nadir perpolitikan orang Karo masa ini adalah ketika Ulung Sitepu menjadi Gubernur Sumatera Utara tahun 1963, kemudian meletus Gestapu, yang menoreh luka yang amat dalam di hati orang Karo. Sitepu lengser karena dituduh PKI, meski tidak pernah diselidiki secara hukum peradilan. Lalu orang Karo minder, karena suka dicap PKI bila bergaul di ranah politik, pasca G30S.

Di era reformasi juga demikian. Pemilu tahun 1999 mengantarkan enam orang Karo duduk di Senayan. Meski turun menjadi tiga orang pada tahun 2004. Akan tetapi jumlah tiga orang tersebut masih diatas rata-rata reprensentasi suku Karo. Analoginya begini, andai jumlah orang Karo katakan satu juta jiwa, maka persentasenya adalah 0,5% dari 200 juta lebih populasi Indonesia. Jadi bila ada tiga orang wakil dari 500-an angota dewan maka angka tersebut masih diatas rata-rata. Lebih jauh dari itu, munculnya beberapa nama dari kalangan Karo dalam kepengurusan partai merupakan satu hal yang menggembirakan. MS Kaban menjadi ketua partai PBB, Tifatul Sembiring di PKS, Sutradara Gintings di PDIP, Sahrianta Tarigan di PDS, serta yang lainnya merupakan indikasi animo masyarakat Karo terhadap politik cukup tinggi.

Keterlibatan orang Karo di banyak partai, bisa jadi memberikan kesempatan lebih besar keterwakilan di parlemen tentunya, Tetapi lebih menarik lagi bagi saya, melihat sebuah fenomena baru, yaitu mengingat selama ini orang Karo lebih dikenal berwatak nasionalis, justru belakangan keterlibatan orang Karo lebih menonjol di partai-partai yang berbasis aliran agama. Apakah orang Karo sekarang sudah makin religius? Tentu jawabnya ada pada kita masing-masing. Tapi boleh jadi dua pertanyaan berikut ini mungkin bisa memberikan kesimpulan,

Apakah orang Karo memilih seorang Karo di partai agama yang berbeda dengan agamanya?
Apakah orang Karo memilih orang lain (bukan Karo), di partai yang sama dengan agamanya?

Bila agama pada orang Karo lebih kuat dibandingkan keterkaitan budaya, maka pilihan partai-partai agama bisa jadi adalah trend baru dalam perpolitikan orang Karo. Disamping itu, munculnya orang Karo dalam partai Islam umpamanya, tentu membuka kesempatan lebih lebar karena basis masa yang lebih besar. Meskipun secara tradisional jumlah populasi orang Karo yang Kristen masih lebih besar dibandingkan Karo Muslim. Walaupun kehadiran orang Karo di partai yang berbasis Islam tentunya harus diikuti dengan kompetensi yang lebih baik.

Mengingat secara populasi orang Karo kurang diperhitungkan dalam percaturan politik Indonesia dengan sistem pemilihan langsung, akan tetapi bila kualitas tetap unggul maka secara logika sehat kehadiran orang Karo akan terus mewarnai kancah perpolitikan bangsa ini. Seperti yang kita lihat, politisi Karo lebih cendrung tampil secara individu ketimbang kolektif, baik di tingkat nasional maupun daerah, meski di beberapa partai seperti PDS dan PDIP cukup banyak orang Karo menjadi pengurus partai. Tapi mereka muncul karena faktor kualitas individu. Berbeda bila dibandingkan dengan masyarakat Toba yang tampil kolektif seperti di PDS, Partai Buruh, PPRN. Mereka muncul lebih solid. Kuantitas etnis bisa jadi salah satu variable penentu dalam sistem pemilihan langsung. Kondisi ini berbeda dengan karakter kita Orang Karo lebih bisa menonjol secara individu, layaknya seekor elang yang selalu terbang sendiri, dan bukan seperti burung eicah selalu terbang bersama.

Gbr: Presiden SBY diuis-garai dalam acara Mburo Ate Tedeh, Senayan

Saturday, January 12, 2008

Antara Sukses Ekonomi dan Adat Pada Masyarakat Karo

Oleh Drs Lape Tendi Sinulingga, MM

Setiap masyarakat memiliki adat istiadat yang bersifat turun temurun yang merupakan warisan nilai-nilai yang kadang dikemas dalam bentuk mitos, seperti juga adat istiadat masyarakat Karo.

Kita melihat setiap masyarakat memiliki legenda/mitos yang sangat diyakini contohnya masyarakat Karo tentang adat-istiadat sampai saat ini masih kental dilaksanakan. Semua aturan yang telah ditata oleh adat itu dilaksanakan secara turun-temurun. Salah satu contoh menurut adat Karo dalam melaksanakan pesta adat dalam suatu perkawinan adalah suatu keharusan. Apabila tidak dilaksanakan tentu keluarga tersebut akan mendapat malu dari keluarganya serta kerabat. Dalam adat-istiadat Karo, melaksanakan pesta adat perkawinan terdapat tiga tingkatan yang dapat dipilih sesuai keberadaan dan kemampuan pihak keluarga yang akan mengawinkan anaknya, yaitu : Kerja Kitik, Kerja Sintengah dan Kerja Mbelin.

Dalam pesta tersebut harus dilandasi sangkep enggeluh yaitu suatu sistem kekeluargaan pada masyarakat Karo yang secara garis besar terdiri dari senina, anak beru dan kalibubu (Tribal Collibium, Adat Karo, Darwan Prinst SH 1996; 35). Setelah selesai pesta diadakan upacara ngulih bulang dan memberikan kebutuhan hidup mereka selama satu tahun, alat-alat yang mereka perlukan beserta ladang/sawah tempat mereka bercocok tanam (Adat Karo, Darwan Prinst SH 1996; 119). Kedua pengantin dipersiapkan untuk kehidupan njayo (berpisah dari orang tua alias mandiri). Dalam kehidupan mandiri ini, apabila ada keluarga yang melaksanakan pesta di keluarga suami maupun istri harus dihadiri.

Kalau setiap pesta keluarga dapat dihadiri merupakan kebanggaan bagi semua keluarga. Selanjutnya disamping faktor keberadaan adat yang harus dijunjung tinggi, ada hal yang lain yang menuntut lebih utama dibina yaitu membina kehidupannya, dengan membangun kehidupan yang layak. Setelah hidup layak dan berkecukupan menurut ukuran desa maka dia harus mengunjungi kalimbubu serta sanak keluarga sacara bergiliran. Ada kalanya sampai memakan waktu hingga berbulan-bulan. Pada zaman dahulu hal tersebut tidak menjadi masalahkarena itulah kebanggaan dalam hidup bermasyarakatdi Tanah Karo. Apakah keadaan ini juga terjadi berbagai kelompok masyarakat dengan adat istiadatnya, masih dapat dilaksankan dan dipertahankan secara sempurna di abad glbalisasi ini? Tatanan pola kehidupan yang baru juga telah berubah yakni dimana masyarakat telah memandang pentingnya informasi yang up to date bahkan real time information (Orang Karo Diantara Orang Batak, Martin L. Peranginangin; 152).

Disini dapat diceritakan yang merupakan kisah si A setelah berumah tangga sangat peka sekali mengikuti acara-acara adat sehingga di dalam acara dapat dikatakan sangat aktif dan tanpa pamrih sehingga semua famili maupun masyarakat Karo khususnya dan handaitolan umumnya , menganggap si A dengan julukan pengetua adat, dan dengan julukan ini dia sangat bangga. Kebetulan tiga bersaudara ini bukanlah berasal dari keluarga yang kaya melainkan dari kalangan yang pas-pasan saja, dengan kata lain tidak ada harta warisan orang tua yang dapat dandalkan. Si A lupa memperjuangkan hidupnya, masalah ekonomi dan usiapun terus bertambah, padahal sebagai pengetua adat dia sering berbicara dan menyampaikan berupa nasehat-nasehat, pesan-pesan dan kesan di saat acara pesta perkawinan. Bahwa setelah terbentuknya mahligai rumah tangga saat ini, persiapkan tatanan kehidupan layak supaya suatu saat ada tambang (ongkos) dan oleh-oleh untuk mendatangi sanak failmi kedua pihak maupun menghadiri acara pesta perkawinan lainnya. Berkaitan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan lain-lain yang pada gilirannya dapat mengakibatkan bergesernya nilai-nilai sosial. Oleh karena itu untuk meningkatkan taraf hidup yang erat kaitannya dengan tatanan adat istiadat, maka perlu disikapi dengan mencari dan melaksanakan keseimbangan antara pola berpikir miskin dengan pola berpikir kaya terhadap keberhasilan hidup ini. Begitulah petuah selalu disampaikan. Kelihatannya pesan-pesan ini sangat bermanfaat sekali khsusnya bagi pengantin sepanjang dihayati, direnungkan dan dilaksanakan. Disini, tentu seharusnya si A terlebih dahulu melaksanakan hal-hal yang diutarakan tersebut dalam praktek, sehingga tidak seperti pepatah Karo, ‘Bagi Sekin Parang Bentang’ katanya. Entelap bas juma kalak metultul bas jumana. Arti kiasan ini ibarat sebilah parang yang tajam dipakaikan di ladang orang tapi tumpul di ladang sendiri.

Pada usia 52 sampai 55 tahun, si A sudah mengurangi aktifitasnya didalam mengikuti kegiatan adat istiadat perkawinan karena disamping usia, biaya untuk mengunjungi acara adat pun sudah sulit diperoleh. Biaya hidup makin lama makin tinggi, anak yang disekolahkan makin besar biayanya, sedangkan sumber penghasilan makin berkurang. Namun apa hendak dikata, usia di atas 40 tahun, sulit sekali memulai suatu usaha dari awal. Menurut para ahli jika pada umur 40 tahun seseorang belum ada sesuatu usaha yang dapat menopang kehidupannya, maka kemungkinan hidupnya tidak lagi akan berubah kecuali kalau menang undian. Sekarang si A tinggal merenungi nasibnya. Orang-orang yang memujinya dahulu semakin berkurang begitu juga yang datang untuk memperhatikannya. Bahkan sekarang ini dia sudah sakit-sakitan dan yang merundung malang hanya anak dan istrinya yang senantiasa memperhatikannya. Begitulah hidup ini secara kenyataan.

* Penulis adalah Dosen pada Fakultas Ekonomi UMSU Medan

Thursday, November 15, 2007

Lampas Tayang Melawen Tunduh

Pernahkah Anda didera kerinduan yang kuat dan mendalam? Tak tertahankan, mekelek mesangat ibarat suhu tubuh sudah mencapai 40 derajat celsius. Ise pe tendengna banci ndehereng tanpa kecuali. Sulit diungkapkan dengan kata-kata, laterkata belasken alias more than words. Barangkali demikian kondisi yang bisa dialami seseorang saat mejumpai persoalan ini. La erndobahen, biar maskulin bertampang cool abis dirasuki persoalan ini bisa kehilangan jati diri. Walau orang Inggris bilang boys don’t cry, laki-laki tidak menangis katanya. Hanya saja, apa yang digubah Djaga Depari dalam lagu Lampas Tayang Melawen Tunduh seolah-olah memberi excause bagi kaum adam bisa larut dalam suasana sentimental. Ia terpana campur haru-biru dikala sadar tak ada lagi jalan merebut hati orang yang didambakan. Selpat kite-kite dalan jumpa. Hukumnya memang, rasa rindu datang meradang setelah kita tahu akan berpisah tak bertemu lagi dengan orang yang kita kasihi.

Djaga Depari memang piawai menulis lagu romantis dengan lirik-lirik yang menggugah dan tajam. Goresan lagunya disari dari kata-kata pilihan kemudian diramu dengan olahan syair syahdu menjadi satu kesatuan. Meski latar belakang hidupnya banyak dilalui di masa perjuangan dan terlibat sebagai serdadu perang dengan pangkat terakhir sersan mayor. Ia juga hanya sempat mendapat pendidikan dari sekolah Christelijk HIS III di Kabanjahe kemudian melanjut ke Chistelijk HIS di Medan, namun lagu-lagunya dikenang abadi sampai sekarang. Mungkin ia tak pernah memikirkan soal imbalan yang akan didapatkan. Kepuasan jiwa adalah honor yang tak ternilai, seperti halnya sebuah karyanya yang indah ini, Lampas Tayang Melawen Tunduh.

Di bait pertama dibuka dengan sebuah persoalan yang tengah dialami tokoh utama, lampas tayang melawen tunduh. Menurut orang Karo rumus sejahtera itu cuma ada tiga : entabeh man, entabeh tunduh, entabeh erbuang. Itu saja! Jadi kalau lampas tayang melawen tunduh tentu saja ada yang tidak beres. Apa yang menjadi soal? Yah, di baris kedua kemudian langsung dijelaskan. Sampai disana sudah jelas duduk persoalannya, soal ate ngena sehingga hari sudah larut malam tak terasa, namun mata tak kunjung terpejam apalagi bisa ernipi. Bila raga yang letih cukup dibayar dengan istirahat, kalau latih rukur kai menda tambarna?

Berikut, di bait ke dua diberi penegasan lagi betapa besar masalah yang tengah bersarang di hatinya. Kata melenget sudah jelas artinya, rasa sepi yang amat sangat. Juga meriso adalah penegasan kembali. Kalaupun ada terjemahan bebasnya artinya ‘sepi yang diselimuti perasaan sedih-medih’ barangkali. Ia sudah syarat dengan penderitaan, namun persoalan itu tak jua kunjung berakhir. Apa lacur rasa cinta sudah berurat-berakar dihati, namun sang kekasih (solusi masalah) tak berada lagi di pihaknya. Karena itu si man tangkelen lalap la tembe (tembe = dung alu mehuli). Akibatnya air matapun tidak hanya bercucuran, tapi sampur ( Ind : melimpah-ruah). Seterusnya dijelaskan lagi, iluh mambur ndabuh ku pusuh. Itu berarti peristiwa yang dialaminya memberi luka yang amat dalam di hati.

Di bait ke tiga, sang tokoh mencoba bangkit dari persoalannya. Ini sisi positif yang masih sempat terbesit dipikirannya. Labo gunana numpah padan, katanya. Biarlah hanya iar mata yang bercucuran. Tapi kelihatannya ia juga tak begitu kuat berpasrah menerima keadaan. Masih ada secuil sisa-sisa harapan dari orang yang lemah. Dia lemah sekali, karena tak punya otoritas untuk merubah keadaan. Uga bahan adi sekin enggo bas kalak (bekas kekasih) sukulna, kata pepatah Karo. Harapan hanya bisa menanti kekasih bisa berubah pikiran. Tapi bilapun ada harapan itu berkisar bilangan desimal persentasenya. Pepatah lain bilang, bagi ngarapken kerbo mombak man bengkau merdang. Hah, Pak Muin-lah!

Di bait penutup diungkit lagi kenangan indah yang membuat tokoh utama menderita. Mehuli ndube si ban arihta Turang, kenangnya. Tapi mengapa akhirnya la mehuli begitu kira-kira, sehingga ia berputar terus di pusaran itu. Apalagi mengingat sang kekasih sudah berjanji, aku pagi bandu, katanya. Tapi apa yang terjadi, kita enggo sirang! Inilah pokok persoalannya. Apakah ngobah janji semudah membalik telapak tangan? Mungkin di jaman dahulu, kejadian seperti ini masih tergolong langka, karena waktu itu belum ada istilah CJ [baca: se-je] alias snake. Orang yang berdusta semudah makan bakso saja, membuat penyair tak mengeri. Apa salahku, apa dosaku? Dia bertanya-tanya. Hmm, enggo me Mama, ia lange tehna dosa. Sada ngenca dosa tandaina, dosa la man melihe. Enca! Ban baleng-balengna ertangkel e, kalak si lepak kita si robah. Labo dalih...

Lampas Tayang Melawen Tunduh

Lampas tayang melawen tunduh, Turang
Nginget-nginget katandu rutang
Piah-piah nggo mbages berngi
Daging ngalah rukur pe latih Turang

Melenget meriso ertangkel si sada Turang
Si man tangkelen lalap la tembe
Piah sampur iluh i mata
Mambur iluh mambur ku pusuh Turang

Bage gia la kusumpah padan
Iluh naring mambur Turang
Tapi bage gia uga kubahan bangku
Kena nari rukur Turang

Mehuli ndube siban arihta Turang
Aku pagi bandu nindu man bangku
Tapi gundari kita enggo sirang
Kai salahku robah kal aku Turang
Robah kal aku mesayang…

Tuesday, October 16, 2007

Ertutur


KARO Jadul
Kata ertutur satu kosa kata dalam bahasa Karo berasal dari kata dasar tutur yang bermakna tingkat hubungan kekerabatan. Sementara ertutur adalah kata kerja yang bermakna mencari tingkat hubungan kekerabatan sesorang dengan yang lain. Kebiasaan bagi orang Karo bila pertama kali berjumpa dengan seseorang selalu ertutur terlebih dahulu guna mencari hubungan kekerabatan. Ertutur merupakan satu pilar dalam kebudayaan kita. Dewasa ini, semakin banyak orang muda yang tidak mengerti lagi orat tutur membuat kalangan orang tua Karo merasa khawatir dengan kondisi itu, sebab bisa menggoyahkan eksistensi suku Karo dalam peradapan modern ini.

Budaya ertutur di barat disebut orang greetings. Di daerah lain juga ada budaya berkenalan dengan sebutan yang berbeda tentunya. Namun bagi orang Karo ertutur memiliki makna lebih sekedar berkenalan. Di masyarakat Karo yang memiliki karakteristik hidup bermasyarakat secara kolektif yang akrab tercermin lewat sistem sangkep nggeluh merga si lima, rakut si telu dan tutur siwaluh. Semboyan ­eret-eret dengan simbolisasi cecak meneguhkan hal ini. Aku kap kam, kam kap aku! Dan orat tutur merupakan perekat dan penghubung yang sangat penting, sampai-sampai ada seminar ertutur di Jakarta belum lama ini. Meski terkadang orang terkesan banyak berbasa-basi dalam ertutur. Eak, kita tading i Batu Jongjong, singgah kam ku rumah adi reh kam ku jah”, umpamanya.

Bila berkenalan, orang Karo mencari hubungan kekerabatan seseorang dengan yang lain menurut adat dan tingkatan ganjang-teruhna dalam terombo. Dalam ertutur orang tidak pernah menanyakan piga motorndu? entah piga hektar sawitndu? atau pertanyaan lain menyangkut harta dan tahta. Itu tidak etis. Namun, hal yang sangat mendasar tentunya menanyakan marga/beru, bere-bere hingga soler ada sampai enam lapis (tingkatan keatas-kebawah maupun secara horizontal). Karena marga menentukan hubungan, maka orang yang belum memiliki marga/beru Karo harus ditabalkan dahulu supaya dapat ditentukan hubungannnya dalam sistem kekekerabatan orang Karo. Megawati mantan presiden misalnya, beru Peranginangin, Sudharmono mantan wakil presiden merga Sitepu atau Letjen HBL Mantiri merga Kembaren dst. Selain marga, informasi jumlah anak juga selalu disinggung dalam ertutur karena jaman dahulu (apalagi) anak laki-laki merupakan first asset. Setali tiga uang dengan falsafah orang Toba, Maranak sapulu pitu marboru sapulu onom. Itu wajar saja karena dalam culture yang agraris, dahulu anak laki-laki dan perempuan dipersiapkan untuk bekerja di lahan pertanian. Semakin banyak anak tentu semakin luas lahan yang bisa digarap.


“Anakta sepuluh dua, sebelas dilaki sada diberu. Sintua gelarna Robinhood, jadi penggelarennku Bp. Robin!” contoh dialog dalam ertutur. Nah, bagi orang Karo justru nama terakhir kali disebutkan. Itu pun kesannya nama orang itu tak perlu diingat. Sehingga banyak sekali nama orang tua jaman dahulu tidak dikenal orang banyak, seperti Sibayak Pa Mbelgah, Sibayak Pa Pelita, Pa Tolong dan lainnya tidak diketahui siapa nama sebenarnya. Setelah menikah dan memiliki keturunan maka gelar bagi orang Karo masap, nama populernya langsung diberi nama anaknya paling tua. Sehingga orang belum memiliki anak pun diberi panggilan akrap bapa/nande Sope. Bicara soal yang ini, teringat semasa kecil saya sering ditakut-takuti supaya tidak menyebut nama orang yang lebih tua dari kita. Kari turah jaung ibas igung, katanya. Namun sewaktu di sekolah dasar dahulu, seringkali teman-teman saya saling mengolok-olok dengan menyebut nama orang tuanya. Ada nama bapaknya Tamat di olok-olok ‘masih ada sambungannya!’ Sampai suka terjadi perkelahian.


Berbeda dengan greetings di barat yang memperkenalkan diri lazim menyebut nama dahulu baru yang lainnya. Walau William Shakspear mengatakan, apalah arti sebuah nama? Namun demikian, di barat nama-nama orang dibuat bagus-bagus apalagi kalau dibanding orang Karo tempo doeloe dalam membuat nama terkesan asal-asalan. Selait itu, mungkin letak perbedaan yang lain kita dengan bule, bahwa mereka lebih banyak bertanya soal-soal present and future, dan diakhiri dengan saling tukar kartu nama. Itu lebih menekankan perkenalan pada soal peluang. Sedangkan kita justru lebih mendalam menanyakan masa soal lalu. Bila perlu menanyakan seseorang yang mungkin sudah wafat di satu kampung sekedar mencari tahu pertalian kekerabatan.


Adi bage, Pa Guntar e kadendu?”
“Iahh, aku erbengkila ku ia, sembuyak bapa kal ia ras bapa si mupus aku.”
Eee…adi bage kam pe erbengkila bangku, kami senina sepemeren” sepenggal dialog yang lain. Percakapan seperti ini, menunjukkan bagaimana kekerabatan bagi orang Karo sangat dekat. Orang yang jauh sekalipun, bisa dicari-cari jalurnya supaya bisa lebih dekat.
Sementara di barat kekerabatan mungkin lebih pendek, mungkin hanya memiliki dua tingkatan ke atas dan ke bawah, kakek-nenek, ayah-ibu, anak-menantu dan cucu. Pertalian kekerabatannya jauh lebih longgar dibandingkan dengan kita. Karena itu kesan kekeluargaan mereka jauh lebih ‘tipis’. Individualisme disana sangat dipenagruhi dasar negara yang liberal, berbanding terbalik dengan kita yang konon suka bergotong-royong sehingga rasa persaudaraan sangat kental. Hanya saja perkembangan jaman, kebersamaan kita justru makin kendor digogoti individualisme tadi. Bahkan menjadi tak populer lagi, seperti falsafah jawa mangan ora mangan asal ngumpul. Itu tidak relevan lagi!
Hmm, tersinget tersena katak la rikur. Sepertinya saya juga terlalu utopis dengan superioritas budaya barat. Ahh, mirip kuan-kuan kalak Karo. Bagi bernawit ngkapiti biang perburu, nina. Lape kapiti banci kita rintakna! Heh, cocok Kam rasa? Begitu kan?!

Friday, August 24, 2007

Globalisasi dan Budaya Kita

Beberapa waktu yang lalu ketika pulang kampung, saya takjub dengan berbagai perkembangan yang tengah terjadi di sana. Desa yang dulunya belum disentuh telepon fix line saat ini sudah berdiri tower sebuah operator telepon selular. Lagi, anak mudanya sudah banyak juga yang bekerja ke luar negeri sebagai TKI, seperti Korea, Malaysia dsb. Era informasi sudah merambah hingga ke pelosok yang paling terpencil sekalipun. Itulah globalisasi. Orang yang tengah menyemprot jeruk atau lagi menyadap karet atau mungkin lagi me-ndodos tandan sawit bisa berinteraksi dengan siapa saja di seluruh dunia. Aksesnya sudah ada!

Informasi adalah entry point dalam era globalisasi. Tarif telepon yang cenderung turun sehingga menjangkau semakin banyak kalangan. Mobilisasi informasi tanpa batas mendorong terjadinya mobilisasi capital dan SDM. Modal dan manusia semakin leluasa masuk dan keluar batas wilayah negara. Orang-orang semakin familiar dengan berbagai perkembangan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Bumi ini seolah-olah ibarat sebuah kampung yang besar dimana warganya bebas berinteraksi, intens dan semakin cepat.


Tetapi yang tidak kalah menarik adalah dampak dari globalisasi itu sendiri. Semua aspek kehidupan tak terkecuali mengalami perubahan. Pola makan, pakaian, pekerjaan, gaya hidup, sosial, budaya ikut terkena imbasnya. Restoran cepat saji : McD, KFC. Mode yang junkis, system kerja kontrak, munculnya kelab menurut interest, sikap memandang budaya luar lebih superior dan apresiasi budaya sendiri menjadi kendor, dsb. Hal ini tidak terlepas akibat nilai-nilai yang ditawarkan era informasi melalui berbagai media yang semakin intens. Sementara itu masyarakat kurang selektif dalam memilih tawaran informasi itu. Kondisi ini bisa membawa akita ke dalam perangkap sikap serba instant. Cepat makan tanpa masak, cepat kaya tanpa kerja, cepat pintar tanpa belajar, cepat sukses tanpa usaha, dst.

Sebenarnya globalisasi itu membawa banyak sekali manfaat yang positif. Memberikan berbagai kemudahan dalam aktivitas kita. Hanya saja kesiapan mental seringkali menjadi kendala yang paling sering membawa masalah. Orang ingin tampil beda, namun akhirnya tampil ‘ceda’. Anak-anak diberi HP kamera demi gengsi, namun malah dipergunakan untuk hal negative. Berapa sering kita mendengar berita tentang pornografi, kekerasan, dan tindakan asusila lainnya bermula dari penggunaan teknologi salah kaprah. Mungkin perlu suatu aturan yang menyatakan seseorang telah layak untuk menggunakan sesuatu, seperti halnya senjata. Konon di Singapura siswa SD tidak diperkenankan menggunakan HP. Baggaimana dengan kita di sini, padahal mereka jauh lebih makmur disbanding kita di sini.


Sekali lagi Produktivitas

Satu lagi ciri dari arus globalisasi yang menderu kehidupan kita dewasa ini adalah persaingan yang super ketat. Hermawan Kartajaya menyebutnya sebagai hyper competition, dimana yang menjadi kompetitor dalam bisnis bukan lagi hanya bisnis yang sejenis. Katakan saja hotel menurun tingkat huniannya karena semakin rendahnya harga tiket pesawat, perguruan tinggi bersaing dengan semakin banyaknya lulusan sekolah menengah menjadi TKI, dsb. Dalam tingkat kompetisi individu maupun kelompok juga terjadi hal yang sedemikian rupa, tenaga kerja Indonesia dinilai cukup rendah karena kurang produktif, akan bersaing dengan tenaga kerja dari India, Vietnam, China, Filiphina dsb. Menurut survey, produktivitas tenaga kerja dari negara tersebut jauh lebih baik.

Bagaimana produktivitas kita sebagai orang Karo? Saya punya pengalaman begini. Teman saya lulusan S1, bekerja di Jakarta dengan tingkat penghasilan diatas UMR dan kemudian menikah dengan impal-nya di kampung. Orang tua yang sudah merasa berhasil, kemudian bermusyawarah menggelar pesta adat simbelinna. Semua kade-kade kahe-kolu diundang. Pesta pun meriah, dan biaya habis sekitar IDR 50 sampai 75 juta. Namun alangkah mirisnya hati, usai pesta sang anak harus mencari indekost di Jakarta dengan biaya ratusan ribu per bulan. Tentu hal ini bukan alat ukur, namun orang Karo juga salah satu suku yang paling banyak memiliki jambur. Ini menunjukkan kita doyan berpersta?!

Sebuah tulisan menjelaskan bahwa orang Betawi di Jakarta menjadi terpinggirkan akibat suka menjual tanah untuk pergi naik haji. Bagi mereka ‘haji’ merupakan symbol yang sangat membanggakan. Menggadaikan tanah adalah kebiasaan yang lazim terjadi bila mereka hendak berangkat ke Tanah Suci. Simbolisasi keagamaan pada orang Betawi mirip dengan kapitalisme budaya di orang Karo. Sehingga disaat runggu kerja adat dewasa ini, bila pesta tidak ada gendang keyboard bisa-bisa bakal sedikit orang yang datang. Padahal keyboard dan shooting vcd bukanlah budaya kita. Tentu boleh saja berpesta dengan biaya mahal dari kelimpahan harta yang ada tentunya. Namun menggali utang untuk berpesta jelas tidak bijaksana. Seproduktif apakah kita dalam bertindak? First thing first, kata Stephen R. Covey. Dahulukanlah yang utama.

Thursday, June 21, 2007

Romantisme Djaga Depari dalam Erkata Bedil

Setiap seniman besar memiliki keunikan tersendiri. Ciri khas itulah yang membuat mereka berbeda dengan seniman yang lain. Keistimewaan warna yang mereka suguhkan bisa pula diterima dan dinikmati oleh khalayak, membuat sang maestro masyur dan dikenang abadi. Nah, berbicara soal seniman besar, nama Djaga Depari (DD) tentu tidak bisa dilewatkan begitu saja. Namun saya tercenung, keunikan apa kira-kira yang menjadi benang merah dari karya-karya komponis Karo ini? Tentu saja ia seorang yang piawai menulis lirik-lirik lagu serta diksinya juga adalah kata-kata pilihan dan tidak luput menghembuskan roh romantisme dalamtembang-tembang gubahannya. Itulah yang menjadikan lagu-lagu lawas-nya masih enak didengar hingga saat ini.

Ketika menikmati alunan lagu karyanya seolah-olah si pendengarlah menjadi pelaku utama dalam peristiwa lagu itu karena kuatnya buaian syair dan liriknya membawa kita ke suatu moment dalam hayalan DD. Banyak dari karya-karyanya yang tidak asing di telinga penikmat karyanya adalah syair bernuansa romantisme. Erkata Bedil salah satunya. Kalau berbicara soal bedil asosiasi orang biasanya mengarah kepada soal perang ataupun kekerasan. Tetapi DD malah ‘mengolahnya’ menjadi sesuatu yang romantis. Disitulah kehebatannya!

Erkata bedil i kuta Medan Turang la megogo
Ngataken kami lawes erjuang Turang ningku Turang


Bait ini melukiskan setting waktu dan tugas pemeran utama. Masa itu sang tokoh berada pada situasi perang yang tengah berkecambuk. Suatu suasana yang tidak menentu, menakutkan dan ngeri. Letusan bedil telah mengingatkan dia untuk maju ke medan tempur. Itu adalah saat-saat genting, antara hidup dan mati. Dan, kalaupun masih bisa hidup belum tentu sempurna. Bisa cacat, pengkar atau adon akibat depresi tekanan perang. Saat itu bisa jadi adalah menjadi pertemuan last minutes atau pertemuan yang terakhir kali dalam kondisi yang sempurna. Meparas, mejile denga man tatapen. Sehingga situasi itu membawa sang tokoh kedalam satu dilema, ikut kata hati dan lari dari tugas atau terus berjuang demi keuntungan jangka panjang bagi mereka berdua dan oran g lain yang membutuhkan kemerdekaan itu. Oh, tidak!

Tading ijenda si Turang besan, Turang la megogo
Rajin ku juma si muat nakan Turang ningku Turang


Bait ini menegaskan bahwa si tokoh adalah seorang patriot. Dia tidak gentar dan tidak ragu-ragu mengambil keputusan, bahkan dengan hati tegar memberikan petuah bagi kekasihnya yang akan ia tinggalkan. Ia mengisyaratkan tentang harapan tentang masa depan mereka. Kumpulkan makanan yang banyak ‘man asamta pagi nggeluh’ begitulah kira-kira isi pesannya rajin ku juma tersebut. Begitulah harapan yang ditegaskan untuk kekasihnya si la megogo, suatu lukisan kecantikan seorang gadis yang memiliki inner beauty.

Adina lawes kena ku medan perang ari o Turang
Petetap ukur ula kena melantar, Turang ningku Turang

Bait ini adalah jawaban dari sang gadis kepada kekasihnya yang akan berangkat perang. Dia tidak menahannya sekalipun itu sungguh berat, tetapi untuk kepentingan yang lebih besar ia berkorban merelakan kepergiannya. Dan hanya satu pesannya, ‘ula kena melantar’ adalah petuah yang lazim saat itu. Sebab dimasa perang tidak ada gunanya melantar. “Hidup nekat mati muda!”, kata orang jadul. Tetapkan hatimu dan janganlah engakau lengah dalam bertugas, itu pesannya.

Adina tuhu atendu ngena Turang la megogo
Tang-tangi cincin man tanda mata ari o, Turang

Cincin sebagai tanda kenangan bagi mereka yang akan berpisah jauh maupun lama. Ini melukiskan keseriusan akan komitmen mereka berdua. Sehidup semati. There is no one but you! Tetapi dalam suasana perang, cincin bisa bermakna lain. Cincin bisa jadi berfungsi guna mengingatkan sang kekasih untuk tetap waspada sekaligus saling mengingatkan untuk saling setia. Tetapi itu kalau nasib mujur, kalau keberuntungan berpihak lain, maka setidak-tidaknya cincin itu bisa sebagai tanda jasad kekasihnya andai nanti tidak bisa dikenali lagi. Bend a ini pun berfungsi sebagai simbol kehadiran sang kekasih, dikala kerinduan yang mendalam.

O, Turang la megogo
Kai nindu ari Turang?
Uga si bahan arihta?
Arih-arihta tetap ersada, ari oTurang


Bait penutup ini adalah ikrar janji. Sekalipun masalah yang mereka hadapi sedang menggunung, namun ikrar mereka tetap bersatu. Komitmen sepasang kekasih di masa perang. Ini yang dijelaskan pada bait terakhir dan sebagai penutup dalam lagu Erkata Bedil. Apakah karena lagu ini bertemakan cinta (sepasang keksaih) dan dirilis dalam bahasa daerah sehingga belum layak dianggap sebagai lagu perjuangan? Apresiasi saya, lagu ini sejajar dengan lagu perjuangan, karena lagu ini juga bisa memompakan semangat patriotisme bagi yang mengerti maknanya.

Lebih jauh. Apakah karya-karya romantis dari DD memberi pengaruh bagi seniman-seniman Karo sesudahnya? Memang lagu Karo dewasa ini banyak yang romantis, tetapi belum ada yang bisa menjadi archais seperti karyanya. Tidak heran gubahannya tetap digandrungi banyak kalangan. Kekuatannya adalah romantisme, tapi bukan picisan. Lagu ini pernah direkam ulang oleh pasangan duet Jusuf Sitepu dan Ulina Br Ginting dengan sentuhan gaya baru yang nge-pop. Dan menjadi hits di tahun 1990-an, meski syairnya dirubah. Di acara gendang kibot misalnya masih suka lagu ini terdengar dengan syair gubahan penyanyinya sendiri, seperti bait di bawah ini:

Patah tumbuh hilang berhganti, turang la megogo
Enda istilah ibas ABRI, turang ningku turang
Mata tunduh medem la banci turang la megogo
De tupung tunduh kena nge ibas nipi turang ari turang
***

Saturday, March 10, 2007

Dari Gereja Yang Aktif Menjadi Gereja Yang Produktif


Dari Gereja yang Aktif menjadi Produktif
Oleh Martin L. Peranginangin

Ada satu anekdot yang berbunyi begini, ?Apa beda orang Karo dan orang Jawa bila makan durian??. Bukan saya bermaksud untuk memojokkan atau menyinggung rasa sukuisme seseorang. Dan, karena ini anekdot jawabnya juga biasanya mengundang senyum orang yang ingin tahu. Lalu, apa kira kira-jawaban atas pertanyaan itu? Begini, kalau orang Karo habis makan durian kulitnya dibuang ke jalan supaya orang lain tahu bahwa dia makan durian. Tapi kalau orang Jawa habis makan durian, kulitnya di jemur dijadikan kayu bakar. Sekalipun anekdot, ini bisa jadi mencerminkan tifikal kita masih lekat dengan sifat anceng, sementara itu suku Jawa biasa hidup hemat. Saya berandai-andai, kalau hal ini masih menjadi tabiat kebanyakan orang Karo, bisa jadi kelak orang Karo akan tertinggal jauh dengan suku Jawa di Sumut. Seberapa besar rata-rata kebutuhan hidup orang Karo dalam kehidupannya sehari-hari? Baik itu kebutuhan pendidikan, pekerjaan, sosial, kerja-kerja, atau kegiatan lainnya dibandingkan dengan suku Jawa? Saya kira kita orang Karo jauh tidak produktif dibandingkan dengan suku Jawa.

Mungkin ada diantara kita sudah mendengar atau pernah mengikuti seminar-seminar Tung Desem Waringin (TDW). Salah satu sesi seminarnya yang cukup menarik yakni mengenai game bangkrut. Dalam game bangkrut, semua peserta dibawa ke suatu tempat di Puncak, kemudian semua benda yang melekat ditubuh peserta dilucuti, seperti dompet, ATM, kartu kredit, perhiasan dll. Peserta dibiarkan hanya mengenakan pakaian tanpa apapun boleh dibawa. Seolah-olah mereka telah mengalami kebangkrutan. Mereka diberi waktu dua jam dan harus lagi kembali ke tempat seminar. Game ini menunjukkan bahwa orang-orang produktif akan tetap produktif dimana pun mereka ditempatkan. Ada yang membantu jualan bakso, membantu parkir, ada yang mengamen, dan macam-macam usaha lainnya. Setelah selesai, ada yang memperoleh Rp 15.000, ada yang sampai 700 ribu. Namun rekor yang pernah dicapai dalam seminar TDW mencapai Rp 4 juta dalam waktu dua jam. Apa kira-kira yang mereka lakukan? Perbedaan ini menunjukan bagaimana perbedaan pandangan (paradigma) kita dalam menghadapi persoalan yang sama.

Lantas kalau kita kaitkan dengan kehidupan rohani, seberapa jauhkah aktifitas rohani kita sudah produktif? Mungkin banyak diantara kita yang sangat aktif dalam beribadah, pergi ke gereja, PJJ, PA kategorial, retreat, KKR dan sebagainya. Namun yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana kegiatan itu telah memberikan perubahan sikap kita dan telah memberikan makna bagi orang lain? Kita boleh diberi gelar aktivis gereja, tapi sejauh apakah sumbangsih yang sudah kita berikan bagi perkembangan gereja? Mungkin ada secara materi, ada secara pemikiran, ada dari segi waktu dan tenaga. Yah, sudah pasti ada. Andai bila yang telah melakukannya, katakanlah baru 10.000 orang dari 300.000 sebut saja demikian, maka gereja itu masih tergolong belum produktif. Bagaimana supaya setiap lini di gereja bisa memberikan nilai tambah guna kemajuan bersama? Baik di tingkat runggun, klasis sampai moderamen.

Lalu saya teringat dengan bencana banjir beberapa waktu yang lalu baik di Langkat begitu juga yang melanda DKI Jakarta serta bencana di tempat lain. Moderamen hingga runggun telah mencoba terlibat memberikan diakonia bagi saudara-saudara (jemaat GBKP) yang mengalami musibah. Tindakan ini telah memberikan sentuhan kalbu tersendiri bagi korban dan suasana demikian bisa jadi akan memberikan ingatan positif. Kapal AS, Abraham Lincoln mendarat di Aceh tidak lama setelah tsunami meluluh-lantakkan Aceh-Nias tanggal 26 Desember 2004 silam. Ini sepertinya diakoni yang terbesar yang pernah diberikan oleh negara dari luar. Sekalipun banyak yang menuduh Amerika adalah bangsa kafir, dengan ?diakoni? seperti itu akan menjadi catatan sejarah bagi negeri serambi Mekkah tersebut. Bahkan mereka lebih banyak berbuat dari negara kita sendiri di sini. Tindakan itu menyentuh kalbu yang paling dalam disaat mereka benar-benar merindukan uluran tangan. Mungkin bukan tugu yang perlu didirikan setelah banyak bantuan diberikan, karena tindakan diakonia itu sendiri telah berdiri tugu yang indah di hati para korban. Sebab di saat bencana melanda, yang diperlukan tidak cukup ungkapan bela sungkawa, tapi tindakan nyata. Seperti saat banjir kala itu, ?Yang saya butuhkan adalah nasi bungkus, bukan perhatian.? kata pendeta saya. Karena rumah pendeta tidak bisa lagi memasak dan harus mengungsi ke lantai dua, karena banjir mencapai dada orang dewasa.

Di masa depan, gereja dituntut bertindak terus lebih produktif dalam setiap pelayanan. Dalam ber-PI, seperti biasanya diidentifikasi lebih dahulu kebutuhan-kebutuhan masyarakat setempat sebelum orang yang ber-PI datang. Namun tidak hanya itu, dalam merayakan perayaan-perayaan hari besar yang lainnya juga demikian. Apakah jemaat sudah melakukan hal yang produktif? Mencapai sasaran yang hendak dicapai? Apakah dana yang terkumpul jumlahnya besar, menjadi ukuran sukses? Ketika gereja tidak lagi produktif maka ia akan menjadi garam yang tidak lagi asin, dibuang dan injak.

Seorang pejabat di Departemen Agama pernah mengatakan, di Jawa Barat ada sekitar 5% orang Kristen, tetapi penjara Sukamiskin Bandung jauh di atas 5% penghuninya orang Kristen. Apakah ini menjadi cerminan kita sekarang, sehingga banyak gereja yang ditutup karena tidak lagi menjadi garam? Kita sudah dituntut untuk menjadi Kristen yang produktif, tidak sekedar Kristen yang aktif. Ini patut kita renungkan.

Friday, December 01, 2006

Pa Belo Picaso

Ibas sada kuta antah-berantah, lit sekalak anak perana pangke tergelar Pa Belo. Ibahan kalak gelar populerna Pablo Picaso. Sabab amin anak perana pe ia pet rusur man belo ras mekatep ka bentingkenna piso. Emaka Pablo Picaso jadina, ras Pa Belo nina kalak rusur. Seh rawana. Tempa la merga kesah man bana. Persoalen sada tinaruh nggit ka ia bene sada idung kerbo, bagem kira-kira ia. Labo kai pe lit tempa kebiarenna. Saja bagi 'reman Beganding', nina kuan-kuan si adi. Adi ngalaken tembuk lada labo kal ia sangsi, tapi adi udan kenca wari minter ia kiam, nina. Persoalen si mbelin man kalak sideban labo ia sangsi, tapi masalah sepele mis ka ambil langkah seribu. Perban bage me pengkebetna jadi centeng kuta me ia, amin mbelang nge kebun sawit orang tuana.

Tupung sie lit ka sekalak si nguda-nguda. Tuhu meparas ras timbas kal daging ibabana. Bagi istilah si genduari lit 3B-na. Brain, Behavior ras Beauty. Enggo ka ia sekalak si pentar, lagu-langkahna mejile la teralang, janah rupana lanai terkata-belasken meparasna. Tuhu-tuhu kal inner beauty lit ibas ia. Kerna beritana enggo me termur-mur seh belang-belang kuta, janah ia me erbahansa Pa Belo bertekuk lutut. Enggo menda piga-piga paksa ia erkuan rassa. Icidahken Pa Belo uga tuhu-tuhu mbelin sura-surana gelah banci ngerana saja ras atena ngena e. Apaika terdauhen, gelah banci man si rukat nakanna. Ah, seh maka erbage-bage cara iusahakenna. Persaingen si la sehat pe nggo me itempuhna guna ngolangi kalak si deban rate ngena man Beru Karo ah ndai si metami la teralang.

Ibas kerja tahun enda, mulih ka menda Beru Karo ibas ingan sindauh nari si sangana sekolah man asamna pagi nggeluh ipudi wari metua. Perbahan berita e seh ku cuping Pa Belo, minter iaturna strategi guna banci jumpa pedempak ayo ras atena ngena e. Seh maka birokrasi isusun rapi, janah kerina biaya ras perpinem kalak suruh-suruhenna e ibereken Pa Belo alu melumbar gelah ula gagal sura-surana e. Kerina e ikirana jadi investasi saja gelah jumpa ras Beru Karo. "Tidak ada makan siang gratis", nina ibas ukurna.

Tuhu tupung acara anak peranan ras si nguda-nguda enterem kal jelma si pulung, terlebih kenca menai erkata gendang kibot. Wari pe seh kal nge jilena bali ras ukur Pa Belo si erurak-burak nandangi jumpa ras Beru Karo. Bulan pe molah-olah i datas langit mesawang mbincarken sinalsalna si macem-macem. Asum e iteh Pa Belo nge uga teremna anak perana si deban si ersura-sura ngerana-ngerana atena ras Beru Karo. Tentu labo saingen si sembarangen. Hanya saja ngalaken si bage rupana lit ka kin talenta Pa Belo, uga ngaturken kaki-tanganna harus bekerja keras. Emaka jumpa me ia duana pedempak ayo ibas acara ngendang kibot e. Andiko... sap so nina pusuh Pa Belo ngidah-ngidah Beru Karo dauh-dauh nari. Seumpama bunga ncole i tengah kerangan. Bagi sedak akapna erkemesah. Emaka dungna ipala-palaina kundul menda ia diher Beru Karo.

Hening sejenak.

"Mejuah-juah Agi, ma berita si mehuli nge babandu i kuta dauh nari?" nina Pa Belo.

"Mejuah-juah Kaka. Kam gia ma labo kam bangger-bangger kidekah enda i kuta?" nina Beru Karo ngaloi.

"Labo lit banggerna seakatan bangger nandangi kena ngenca, melenget- meriso nanamna", nina Pa Belo mulai erbahan taki-taki.

"Ah, kam pe erbeluhna kuidah kam ngrana," nina tole Beru Karo. "Banci nge aku erlajar bandu?" sambung Beru Karo.

"Kidekah kam la i kuta, natap ancuk-ancuk rumahndu ah pe nggo me tempa-tempa malem pusuhku e Agi. Emaka bagenda kam sangana mulih ku kuta, tuhu-tuhu sia-sia terang bulan e Agi adi la jumpa ras Kam". Nina Pa Belo terus pedarat jurus-jurus mautna.

"Payo kin si belas kendu ena Tur...?" lenga dung Beru Karo erbelas lit ka kalak si erdilo mindo Beru Karo reh ku rumah. Emaka ranan Pa Belo pe terpaksa i bukui terjeng ije lebe. Maka ku rumah me Beru Karo ngata bana man Pa Belo. Kepeken enggo ka lit si nimai Beru Karo i rumah. Ah, kepeken temanna marenda asum SMA denga si nggo ndekah la jumpa perbahan ngalanjut sekolah i kepar lawit si mbelang. Emaka tande piga-piga tahunna labo ia mulih ku kuta. Kepeken gundari ia mulih perban nandangi dungna menda gundari sekolahna. Teridah tuhu meriah cakapna i rumah duana ije pe nande ras bapa Beru Karo.

Pepagina sontar me bual Pa Belo i kede kopi.

"Labo ndai aku erlayam ku tiga...!!!" nina Pa Belo tarenna nemtem meja. Piah merap me kirina si lit idatasna. Juak-juakna pe enggo tempa mekerbu perbahan biarna.

"Darami ise kin dilaki ah ndai. Kataken man bana, adi atena jadi anak kuta enda denga ula cubakenna main-main ras aku. Lanai pagi lit tanah kerah kuta enda man bana", nina tole Pa Belo empangiri anak buahna alu sora si megang.

"Tenang kam lebe Kila", nina sekalak anak buahna si kebetulen erkila tuturna. "Adi anak perana ah ndai labo mesera ngatasisa. Mait pe banci nge bahan la teridah. Tapi uga naluken ukur Beru Karo? E nge si perluna", nina erbelas.

"Uuue, tuhu payo kuakap si kataken nah Bos. Peteneng lebe ukurndu!" nina sekalak nari. "Perlu nge kuakap si ubah paradigma. Adi si nguda-nguda ma man kelengen nge, labo man pebiar-biaren?" nina.

"Jadi, tadingken tumbuk lada enda Katam?" nina Pa Belo janahna ngamparken pisona. Bagi terpan cakap anak buahna ia. Sebab lanai tehna uga dalanna jumpa ras Beru Karo.

"Ue Kila, adi banci bukndu ena irebonding ntah pe ban potongenna bagi Brad Pitt, gelah medate ukur si nguda-nguda nandangi Kam", nina ka tole anak buahna.

"Pedah kin Kam, Bos, anak-anak mbaru mberkat pe gundari enggo merari pegacih rondong. Sen pencarinna pe lengo lit man kelenkenna. Nina kin kuan-kuan si adi. Bagi kaperas lau Mambang, enggo piran lenga pe galang. Emaka soal si rukat nakan ula pedah kam sangsi Bos, serahken man kami!", nina ka tole peteneng ukur Pa Belo.

"Mmmhhh", nina Pa Belo lenga bo tembe kal ukurna.
"Sambari inemen enda Perkede!", nina tole ngata man perkede, sebab nggo tungkas kerina inemenna.

"Gurdak gitar ena Geleng, ban laguna Tading Botolna", nina temanna si deban.


"Baju bekasku nukur Karo, Parfum si kutukur Turang
iasamkendu ngerondong ras dilaki si deban
", rende ia kerina.

Tuesday, November 28, 2006

Gereja dan Teknologi Informasi


Kita mungkin sudah biasa mendengar adigium knowledge is power. Namun tahun-tahun belakangan ini istilah tersebut mungkin akan diganti menjadi information is power. Dewasa ini kita begitu dibanjiri bermacam-macam informasi baik tv, koran, majalah, buletin sampai ke situs-situs di internet. Ibarat air bah menyeruap di keseharian kita. Jumlah media baik elektronik maupun cetak berkembang dengan pesat. Sebuah tulisan di Kompas (9/9/06) yang lalu menyebutkan bahwa setiap hari sekitar 1000 situs web muncul di internet. Digitalisasi informasi kini kian marak dan deras menderu mempengaruhi sosial budaya kita, dimana masyarakat kini menganggap penting informasi dalam kehidupannya.

Mobilisasi informasi kemudian mendorong percepatan dalam berbagai aspek kehidupan kita. Dulu Charles Darwin berteori survival of the fittest. Maksudnya, mahluk yang bertahan hidup adalah mahluk yang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Ia mengambil contoh dinosaurus yang besar dan buas namun akhirnya punah karena tidak dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungannya. Sedangkan di abad informasi ini para praktisi bisnis menegaskan tesis baru survival of the fastest. Artinya orang yang cepatlah yang akan bertahan hidup. Cepat dalam artian cakap, cekatan dan memiliki kopetensi dalam bidangnya. Demikian halnya dalam perkembangan organisasi, baik itu profit oriented maupun yang nirlaba seperti gereja misalnya, dituntut supaya sigap dalam mengantisipasi perubahan lingkungannya. Sejauh manakah gereja kita telah bersiap-siap menghadapi setiap perubahan?

Informasi begitu penting. Sebagian orang bahkan telah memandang informasi sebagai komoditi yang dapat diperjual-belikan. Karena informasi adalah bahan baku untuk menghasilkan keputusan. Dalam bahasa Inggris ada istilah garbage in garbage out. Bila kita menerima informasi yang salah maka hasilnya juga buruk. Sehingga kita dituntut harus cermat dalam memilah-milah informasi yang akan kita konsumsi. Teknologi hanyalah sebuah sarana untuk mempermudah akan akses informasi, sementara out put yang dihasilkan sangat tergantung kepada pemakai teknologi itu sendiri, apakah baik atau buruk.

Menurut sebuah survey lembaga internasional menyebutkan bahwa penemuan yang paling spektakuler di abad XX adalah mobile phone dan e-mail. Kedua temuan inilah yang memberi andil yang signifikan bagi kemajuan komunikasi era informasi ini. Teknologi informasi telah mendorong kita memasuki tahapan yang kita kenal sebagai globalisasi. Sudah hampir tidak ada batasan jarak. Dalam waktu yang singkat jutaan giga bites informasi bisa tersebar ke berbagai penjuru dunia. Hanya 'bau' yang tidak bias dikirim gurau para netter.

Kasus flu burung di Kubu Simbelang, Tanah Karo dengan cepat menjadi komsumsi internasional. Dampaknya amat serius. Harga komoditas peternakan dan pertanian serta pariwisata dari daerah ini anjlok. Perekonomian masyarakat pun jadi merosot. Sayangnya masyarakat kita masih cendrung reaktif dalam menghadapi masalah, daripada antipatif. Sampai-sampai ada yang berani minum darah ayam.

Bila saja kita sudah memiliki kekuatan untuk meng-counter berita-berita negatif tersebut secara nasional dan internasional tentunya keadaan masih bisa lebih kondusif. Namun prasarana kita masih minim. Sementara kita masih beranggapan bahwa penyerapan teknologi di masyarakat kita masih belum merata ('rendah') sehingga penerapan teknologi informasi bagi masyarakat belum saatnya dilakukan. Tapi, pendapat saya, kita tidak bias menunggu sampai semua well informated dulu. Justru perlu didorong supaya lebih cepat bebas dari gatek alias gagap teknologi.

Di dalam urusan gereja misalnya, sosialisasi Tata Gereja yang baru bisa dibuat di situs web dilengkapi dengan sarana tanya-jawab. Sehingga tidak perlu banyak pejabat dari moderamen harus door to door menjelaskannya ke runggun-runggun. Disamping hemat waktu juga hemat biaya. Gereja kita hingga saat ini memang telah ada yang melakukan hal ini sekalipun belumlah maksimal.

Di dunia internet setidaknya ada tiga hal yang patut kita ketahui, yaitu :

Situs web, sudah banyak sekali institusi maupun perorangan yang mengelola web site yang bernuansa kristiani. GBKP sendiri hingga saat ini sudah ada beberapa situs, antara lain :

- www.gbkp.or.id
- www.permatagbkp.com
- www.gbkpjakartapusat.org
- www.markonia.blogspot.com

Di kemudian hari tentu kita berharap semakin banyak sumber informasi tentang gereja kita bisa kita akses disamping sebagai sarana komunikasi dan sumber informasi. Misalnya ada situs Mamre, Moria dst.

Mailing List (Milis), merupakan ruang diskusi di internet bagi para anggotanya yang berasal dari berbagai tempat di dunia. Saat ini sudah ada dua milis yang hidup (anggotanya sekitar 300-an e-mail), yakni :

- gbkp@yahoogroups.com dan
- permata-gbkp@yahoogroups.com

Untuk menjadi anggota cukup mengirim e-mail ke :
subscribe-gbkp@yahoogroups.com tanpa memuat berita apapun.
Search engine (mesin pencari), bermanfaat untuk mencari berita yang kita butuhkan. Karena internet ibarat lautan informasi tersedia berbagai macam berita. Situs yang umum dipergunakan adalah www.google.com. Sesudah masuk kedalam web tersebut, ketik kata kunci dari informasi yang ingin kita cari. Misalnya, kita ketik Kubu Simbelang maka semua informasi yang berhubungan dengan kata tersebut muncul.

Demikian pentingnya informasi sehingga kita pun sebagai warga gereja sekaligus warga dunia perlu untuk mengetahuinya, setidak-tidaknya bisa menggunakannya.

Saturday, November 04, 2006

Lembu Maryke Pulah Tambatna

Suku Karo merupakan salah satu suku yang kaya akan kuan-kuan, kiasan, ataupun sejenis ungkapan lainnya. Prof. Masri Singarimbun (alm) bahkan telah mengumpulkan 1000 kuan-kuan (pribahasa) di dalam bahasa Karo, yang telah dirangkum ke dalam satu buah buku. Hal ini menunjukkan bahwa orang Karo sangat kreatif dalam mengungkapkan sesuatu hal, apakah itu mengenai hal yang baik atau pun buruk. Namun tidak saja kreatif, tetapi ini menunjukkan bahwa tipikal masyarakat Karo sesungguhnya adalah suku yang melankolis, "halus", dan tidak suka to the point seperti karakter etnis Batak yang suka dicap berkarakter out spoken.

Penggelaren orang tua umpamanya. Lazimnya orang Karo jaman dahulu memberi sebutan nama anak yang paling tua terhadap penggelaren ayah atau ibunya. Namun demikian ada juga penggelaren yang diberikan sebagai bahan olokan bagi yang bersangkutan. Di kampung saya dulu ada namanya Pa Kanting, padahal nama sebenarnya Ngangkat (maaf bila ada nama serupa dengan nama tsb). Pa Siding nama aslinya sebenarnya Ngulihi. Di tempat lain ada nama Pa Lompat padahal nama sebenarnya Mengkat. Kebiasaan seperti ini malah menular kepada suku Jawa yang ada di kampung saya seperti Barjo (bagong rambut jorok). Hal-hal seperti ini masih berlanjut sampai sekarang, sekalipun sudah mengalami evolusi. Seperti kata 'Pa' berubah menjadi 'Bp' (bapa). Misalnya : Bp. Desy, Bp. Amey, Bp Madonna dll.

Saya berpendapat bahwa kuan-kuan bagi masyarakat Karo mungkin cuma populer dikalangan orang tua jaman dahulu, ternyata itu salah. Kalau diperhatikan mungkin di kerja-kerja nereh empo,dan kerja adat lainnya, juga lagu-lagu Karo, masih sering kita dengar istilah-istilah baru yang mungkin masih asing di telinga kita. Di tahun 1990-an ada istilah baru yang terlahir dari sebuah lagu, seperti potongan judul di atas, 'lembu Maryke pulah tambatna'. Sepintas tidak ada yang istimewa dengan kata itu. Biasa saja. Namun waktu diberi tahu, saya terkagum ketika dijelaskan makna istilah tersebut. Ternyata memiliki makna yang sangat dalam.

Sebagai orang yang berasal dari daerah itu saya berusaha mencari sumber kuan-kuan ini. Sebab setahu saya di daerah ini bisa katakan tidak ada lembu, karena daerah yang letaknya berada di Langkat Hulu ini lebih populer dengan durian, karet atau kelapa sawit. Ah, benar saja. Itu memang hanya sebuah kiasan belaka yang populer lewat sebuah lagu. Lalu apa artinya? Begini, memang agak sedikit sulit menjelaskannya, tapi saya coba dengan cara dialog berikut:

"Tambatken lembuta ena, Nongat!"
"Enggo? enggo tambatken."


Padahal "Enggo tambatken" disini maknanya sudah dilepas dari kandang, tetapi tidak diikat. Jadi antusenna pun begini, "Adi tambatna pe pulahi, uga ka dage adi pulahna?" Berarti lebih bebas, gila! Sehingga menjadi lembu Maryke 'pulah' tambatna bermakna orang-orang yang hidup 'bebas', tidak dikekang oleh sesuatu hal. Itu cuma kiasan. Dan saya bersumpah bukanlah seorang wild cowboy!

Lho, kiasan ini digambarkan untuk apa sebenarnya? Hal ini saya hanya menduga-duga dari pengalaman saya dari remaja hingga dewasa di kampung ini di era 1990-an. Sejak debutnya mulai tahun 1988, gendang kibot kemudian masuk ke Tanah Langkat dengan acara Mboro Ate Tedeh, yang biasanya diprakarsai orang Karo di perantauan Medan sekitarnya, dan sedikit dari pulau Jawa. Padahal acara ini di biasa gelar di negeri rantau, tapi dibuat malah di kampung sendiri. Alkisah, kibot pun berkembang, dan hampir setiap minggu ada gendang kibot di pesta-pesta. Bahkan suku Jawa pun yang kawinan acara hiburannya gendang kibot Karo. Dan saya kira, inilah biangnya. (bukan biang bahasa Karo, hehe). Jadi, bapak-bapak di sana sudah biasa pergi nonton kibot dan pulang pagi. Dan ibu-ibu di sana tidak (jarang) mengeluh, malah akur-akur saja. Nah lho!

Bukan karena hobby mereka menari, namun hanya sekedar hadir di suatu keramaian. Bisa saja tidak menari hingga pulangnya, dan itu tidak jadi soal. Tapi, kalau minta menari, dan dipersulit oleh protokol bisa-bisa akan timbul keributan.

Dan ada hal yang unik, kelompok anak muda (anak perana) berbeda, dan kelompok bapak-bapak berbeda lagi. Jadi masing-masing. Mungkin saja anak dan bapaknya saling bertemu di acara gendang itu, tapi masing-masing erbahan randana. Tak ada masalah. Tak perlu kikuk, begitulah kira-kira.

Di manapun ada gendang kibot, mereka 'anak Maryke' selalu hadir dengan 'gerombolannya'. Jarak antara Binjai-Maryke sekitar 42 kilo meter dengan jalan tentu tidak semulus sekarang, itu juga akan di-jabanin kalau ada gendang kibot di sana, atau mungkin daerah lain seperti Tanjung Langkat, Kuala, Bahorok, Bukit Lawang, Namo Ukur dst. Apakah karena mereka haus hiburan? Kemungkinan pertanyaan ini tidak mengena, sebab rata-rata mereka memiliki antena parabola di rumahnya masing-masing. Artinya, secara ekonomi cukuplah. Jadi mungkin ekspresi kebebasan itu tadi yang inginkan diungkapkan. Sekalipun tidak semua perbapan di sana suka keluyuran malam. Dengan demikian kuan-kuan yang di atas tadi mencoba menggambarkan bagaimana kebebasan perbapan di kampung Maryke tadi. Merdeka se-merdekanya!

Berkenaan dengan 'kemerdekaan' itu tadi, masih ada satu kuan-kuan yang cukup populer dari kampung saya. Bagi nina Pa Nina, Pengulu Tinembok,: "ise perlu ia si reh". Mungkin sudah cukup jelas makna dari pepatah itu. Tapi kebetulan Pengulu Tinembok adalah seorang yang pertandang-tandang yang masih sempat saya kenal. Karena hobbynya adalah jalan-jalan dari suatu kerja-kerja ke kerja-kerja yang lain. Dari satu kampung ke kampung yang lain. Padahal dia adalah seorang kepala kampung, sehingga rakyatnya selalu kesulitan bila ingin berurusan dengan sang Penghulu, karena jarang berada di tempat. Akhirnya, Pengulu Tinembok pun membuat pengumuman, "Ise si perlu, ia si reh" , adi kena si perlu kena si reh, adi aku perlu ma aku si reh", katanya. Dan stempel desa pun di taruh di kampil-nya dan ia bawa ke mana-mana. Bila ada yang perlu membuat surat keterangan misalnya, orang harus mencarinya di kampung-kampung yang mungkin ada acara pesta lebih dahulu. Ini juga ekspresi kebebasan seorang pengulu. Soal kebebasan memang kita perlu bebas, tapi asal jangan bablas!